Senin, 29 Juni 2009

Komnas HAM Didesak Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat


KOMPAS/ JULIAN SIHOMBING
Seorang mahasiswa jatuh tergeletak dipukuli pasukan antihuru-hara yang berusaha membubarkan aksi unjuk rasa menuntut Presiden Soeharto mundur, di depan Kampus Trisakti, Grogol, pada 12 Mei 1998.
Artikel Terkait:
· Berkas Pelanggaran HAM Dibawa ke Dewan HAM PBB
· KSAD: "TNI AD Tidak Merasa Dijadikan Target o...
· Berkas Kasus Trisakti-Semanggi Dikembalikan ke Kom...
· Juwono: Kenapa TNI AD Selalu Jadi 'Sasaran'
Jumat, 4/4/2008 | 18:03 WIB
JAKARTA, JUMAT - Sebanyak 16 orang yang tergabung dalam Solidaritas Aktivis '98 mendatangi Kantor Komnas HAM sebagai bentuk dukungan mereka terhadap upaya Komnas HAM menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM berat, antara lain Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.
"Kedatangan kami ke sini untuk mempertegas komitmen kami untuk menuntaskan masalah pelanggaran HAM berat seperti Trisakti dan Semanggi yang telah merenggut nyawa rekan-rekan kami," ujar Anton, Koordinator para aktivis tersebut saat ditemui para komisioner Komnas HAM, Jumat (4/4).
Para aktivis yang turut terlibat dalam setiap keputusan menyangkut pergerakan-pergerakan mahasiswa yang memperjuangkan reformasi tersebut diterima para komisioner di antaranya Kabul Supriyadhie dan Nur Kholis. Anton mengatakan dukungan para aktivis tersebut tidak terlepas dari posisi dan kewenangan besar yang dimiliki Komnas HAM dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Kelompok ini juga menyayangkan berlarut-larutnya penyelesaikan permasalahan ini. Pergantian kepemimpinan nasional dan juga pembentukan komisi yang bisa membantu pengungkapan kasus-kasus tersebut ternyata selama ini belum mampu menyelesaikan persoalan tersebut. "Pergantian pimpinan dan adanya Komnas HAM belum berpengaruh. Padahal sudah hampir 10 tahun memasuki masa reformasi," ujar Anton. Para aktivis tersebut mengharapkan momentum peringatan 10 tahun reformasi ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Komnas HAM dalam mengungkapkan secara tuntas kasus tersebut.
Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.

Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain: (1) Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda; (2) Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.

Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda. (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. (3) Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. (4) Pendidikan Tinggi.

Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.

Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain: (1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu; (2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta (5) Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini: (1) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi; (2) Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi; (3) setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; (4) Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang; (5) Melakukan latihan-latihan fisik dan militer; (7) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.

Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.

Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang; (3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (5) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.

http://lena-unindrabio2a.blogspot.com/2008/03/pendidikan-zaman-penjajahan.html

Pesantren Masa Kolonial
Pada periode penjajahan, pesantren berhadapan dengan kolonialis Belanda yang sangat membatasi ruang gerak pesantren. Pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan politik-pendidikan dalam rupa Ordonansi Sekolah Liar (Widle School Ordonanti). Melalui kebijakan itu pihak Belanda ingin membunuh madrasah dan sekolah yang tidak memiliki izin. Selain itu, kebijakan formal Belanda tersebut juga bertujuan melarang pengajaran kitab-kitab Islam yang menurut pihak penjajah berpotensi memunculkan gerakan subversi atau perlawanan di kalangan santri dan kaum muslim pada umumnya. Setidaknya, tercatat empat kali pihak Belanda mengeluarkan peraturan yang bertujuan membelenggu perkembangan pesantren di Indonesia, yaitu pada tahun 1882, 1905, 1925, dan 1932.[16]

Akan tapi, pada era ini pula parjuangan pesantren dalam merebut kemerdekaan memperoleh kekuatan melalui kepemimpinan karismatik kiyainya dan keikhlasan para santrinya. Pada sisi lain, muncul pula kekuatan massal Islam dalam bentuk organisasi ekonomi dan kemasyarakatan, seperti Serikat Dagang Islam, Persyarikatan Muhammadiyah, dan Nahdhatul Ulama. Lantaran itu, isu-isu strategis tergalang sangat cepat di kalangan umat Islam karena dikuatkan oleh fatwa-fatwa ulama yang mewajibkan (fardlu ‘ain) umat Islam berjihad melawan penjajah. Fatwa jihad fi sabilillah itu mengandung kekuatan eskatologis berupa ganjaran dalam bentuk pahala atau surga di akhirat. Doktrin inilah yang sangat ditakuti penjajah Belanda dan juga Jepang sebab para pejuang muslim tidak pernah takut mati. Dalam kata lain, kematian atau mati syahid bagi seorang pejuang muslim diyakini sebagai jalan sekaligus tujuan mulus menuju surga. Kematian bukan rintangan dalam berjihad.

Pada masa penjajahan Jepang, pesantren berhadapan dengan kebijakan Saikere yang dikeluarkan pemerintah Jepang. Melalui kebijakan itu setiap orang bumiputra diharuskan membungkuk sembilan puluh derajat ke arah Tokyo setiap pagi jam 07.00 guna menghormati atau memuja Kaisar Jepang, Tenno Haika, yang diyakini sebagai keturunan Dewa Amaterasu. Di sinilah peran karismatik K.H Hasyim Asy'ari terbukti ampuh. K.H Hasyim Asy'ari sangat menentang dan menolak melakukan ritual yang diatur pemerintah Jepang itu sehingga ia ditangkap dan dipenjara selama 8 bulan. Di luar dugaan pihak Jepang, penangkapan dan pemenjaraan kiai karismatik tersebut justru melahirkan gelombang perlawanan di kalangan santri. Terjadilah demonstrasi besar-besaran yang melibatkan ribuan kaum santri untuk menuntut pembebasan K.H Hasyim Asy'ari dan menolak kebijakan Saikere.[17] Sejak itulah pihak Jepang tidak pernah mengusik dunia pesantren, walau kekejamannya terhadap kaum bumiputra lebih menyakitkan dibanding penjajah Belanda. Namun, watak penjajah tetaplah serupa di manapun, walau berbeda warna kulit dan bahasa, yaitu menghisap dan membunuh.

Pesantren Masa Kemerdekaan
Pada era kemerdekaan, pendidikan nasional berjalan kondusif dan berkembang. Sebaliknya, pesantren justru tidak banyak lagi menjalankan tugasnya seiring perkembangan madrasah yang sangat pesat. Dalam kurun ini, seperti yang ditulis Mujamil Qomar,[18] pesantren mengalami semacam musibah karena pemerintah terus melakukan penyeragaman atau pemusatan sistem pendidikan nasional. Hanya pesantren-pesantren besarlah yang mampu menghadapi itu dengan berbagai penyesuaian atau adaptasi terhadap sistem pendidikan nasional. Musibah itu pun dapat dielakkan.

Pada era Orde Baru, bersamaan dengan dinamika politik umat Islam dan negara, Golongan Karya (Golkar) sebagai kontestan pemilihan umum selalu membutuhkan dukungan pesantren. Atas kebutuhan itulah pemerintah yang dikuasai Golkar menaruh sedikit perhatian pada dunia pesantren. Dari kalangan pesantren sendiri muncul intelektual-santri yang secara sadar berusaha memperoleh pembiayaan pendidikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Berbagai gagasan mulai muncul dalam rangka mengajarkan keterampilan di pesantren, seperti peternakan, pertanian, kerajinan, dagang, dan lain-lain. Suasana pun tampak kondusif hingga terbit kebijakan SKB 3 Menteri (Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan, dan Menteri Dalam Negeri) tentang penyetaraan madrasah dengan sekolah umum. Di sisi lain, sesuai dengan dinamika politik dan dinamika sistem pendidikan nasional, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) malah menolak alumni pesantren Gontor karena ijazah pesantren tersebut tidak diakui pemerintah. Pesantren Gontor memang mengatur sendiri seluruh kurikulum dan ijazah lulusannya. Padahal, untuk menjadi mahasiswa IAIN, kualitas alumnus pesantren Gontor diakui lebih baik dibanding lulusan Madrasah Aliyah versi SKB 3 Menteri.[19]

Bila dibagi berdasarkan kurun waktu secara bebas, maka pesantren periode 1959-1965 dapat disebut sebagai agen revolusi. Era 1970-an dan 1980-an, pesantren menjadi benteng ideologi Islam karena harus menghadapi gempuran sekularisasi atau demoralisasi akibat kemajuan zaman. Tahun 1990-an, pesantren dapat dikatakan sebagai media pembangunan umat Islam, baik dalam konteks pendidikan Islam maupun peran para kiai dan santri dalam masyarakat. Simpul umum, sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo yang dikutip Mujamil Qomar,[20] bahwa sesudah tahun 1965 Islam ditampakkan sebagai ilmu. Namun, anggapan Kuntowijoyo ini jelas tidak berlaku linear. Ajaran Islam tidak terpisah dari politik sehingga pada masa-masa tertentu terus terjadi ketegangan politik antara umat Islam dan negara. Situasi itu terjadi secara fluktuatif hingga kini.

Kini, jumlah pesantren di Indonesia berdasarkan data Dirjen Lembaga Islam Departemen Agama RI Tahun Ajaran 2003/2004 telah mencapai 14.656 buah. Tentu bukan perbandingan ideal dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 230 juta jiwa. Namun, perkembangan pesantren cukup prospektif. Pesantren di Indonesia sedang berbenah dan mencoba menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Selain pesantren yang sudah ada, sekarang banyak muncul tren pesantren spesifik, tematis, atau modern. Pesantren-pesantren gaya baru itu memiliki manajemen pendidikan yang baik dan memiliki spesialisasi pada kompetensi berwirausaha dalam berbagai bidang, seperti pertanian, peternakan, kerajinan, atau industri kecil. Tujuannya agar santri segera mandiri dan mampu bersaing di sektor riil. Akan tetapi, perkembangan pesat pesantren gaya baru tersebut tidak sebanding dengan perkembangan pesantren dengan kompetensi spesifik pada bidang Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Ushul Fiqh, dan sebagainya. Kondisi ini menjadi ironi mengingat pesantren bukan lembaga pendidikan umum, tetapi lembaga pendidikan Islam.

Pada era reformasi, potret pesantren semakin menarik dicermati dan dipertanyakan. Apakah pesantren nan masyhur di masa lalu, mulai dari gaya kepemimpinan kiai yang karismatik hingga peran penting santri di arena publik, masih terus berkembang hingga kini? Masihkah pesantren mengadopsi sistem pendidikan terdahulu ataukah telah memodifikasi model pendidikan umum? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu memerlukan riset mendalam. Apalagi, pesantren berada dalam pusaran kekuatan lembaga pendidikan umum yang terus eksis sebagai referensi keilmuan.

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Pesantren%2C+Pendidikan+Islam+Khas+Indonesia+(4+-Habis)&dn=20081118144209














LANDASAN HISTORIS
PENDIDIKAN NASIONAL DI INDONESIA
I. PENDAHULUAN
Secara umum, pendidikan merupakan segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Secara khusus, pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan, yang berlangsung di dalam dan luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang (Mudyaharjo, 2008: 3, 11).
Tujuan pendidikan di Indonesia adalah untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang Pancasilais yang dimotori oleh pengembangan afeksi, seperti sikap suka belajar, tahu cara belajar, rasa percaya diri, mencintai prestasi tinggi, punya etos kerja, kreatif dan produktif, serta puas akan sukses yang akan dicapai (Pidarta, 2007: viii)
Pendidikan Nasional Indonesia Merdeka secara formal dimulai sejak Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya kepada dunia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pendidikan Nasional Indonesia Merdeka ini merupakan kelanjutan dari cita-cita dan praktek-praktek pendidikan masa lampau yang tersurat atau tersirat masih menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan ini (Mudyaharjo, 2008: 214)
Dalam proses pertumbuhan menjadi negara maju, Indonesia telah mengalami pelbagai perubahan, termasuk bidang pendidikannya. Perubahan-perubahan itu merupakan hal yang wajar karena perubahan selalu dipengaruhi oleh berbagai factor yang bisa berganti selaras dengan perkembangan serta tuntutan zaman pada saat itu. Tidaklah mengherankan apabila system pendidikan yang kita anut segera setelah merdeka adlah sistem kontinental karena kontak kita pada saat itu adlah dengan negara-negara Eropa, khususnya negeri Belanda (Dardjowidjojo, 1991: ix)
Pengambilalihan sistem kontinental itu tentu kita lakukan dengan penuh kesadaran bahwa sistem tersebut belum tentu cocok dan langgeng dengan perkembangan pendidikan yang kita kehendaki.
Setelah kita merdeka dan menerapkan sistem pendidikan kontinental sekitar lima windu, kita dapati bahwa pendidikan dengan sistem Eropa tidak cocok lagi dengan tuntutan perkembangan zaman (Dardjowodjojo, 1992: 1).
Proses pendewasaan pun berlanjut, dan pengalaman telah banyak mengajarkan kepada kita untuk memetik mana yang baik dan mana yang buruk. Keadaan politik nasional dan internasional, perekonomian dunia, hubungan antar bangsa, dan peran yang dimainkan bangsa Indonesia pun bergeser dan berubah, yang sedikit banyak mendorong kita untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian tertentu.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini meliputi:
A. Apa yang menjadi landasan historis Pendidikan Nasional Indonesia?
B. Apa implikasi konsep pendidikan yang bersumber dari landasan historis ini?
II. LANDASAN HISTORIS KEPENDIDIKAN DI INDONESIA
Sejarah atau history keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian atau kegiatan yang didasari oleh konsep-konsep tertentu. Sejarah penuh dengan informasi-informasi yang mengandung kejadian, model, konsep, teori, praktik, moral, cita-cita, bentuk dan sebagainya (Pidarta, 2007: 109).
Informasi-informasi di atas merupakan warisan generasi terdahulu kepada generasi muda yang tidak ternilai harganya. Generasi muda dapat belajar dari informasi-informasi ini terutama tentang kejadian-kejadian masa lampau dan memanfaatkannya untuk mengembangkan kemampuan diri mereka. Sejarah telah memberi penerangan, contoh, dan teladan bagi mereka dan semuanya ini diharapkan akan dapat meningkatkan peradaban manusia itu sendiri di masa kini dan masa yang akan datang.
Misalnya, Indonesia dan negara-negara lainnya pada tahap awal perkembangan ekonomi mereka telah mengembangkan sistem pendidikan yang baik dan berdasarkan kebudayaan tradisional. Pada masa kolonial, sistem pendidikan berkembang dengan berdasar pada sistem pendidikan sebelumnya ini. Pada masa modern seperti sekarang, sistem pendidikan yang berlaku juga berdasarkan pengembangan dari sistem pendidikan kolonial (Williams, 1977: 17).
Dengan kata lain, tinjauan landasan sejarah atau historis Pendidikan Nasional Indonesia merupakan pandangan ke masa lalu atau pandangan retrospektif (Buchori, 1995: vii). Pandangan ini melahirkan studi-studi historis tentang proses perjalanan pendidikan nasional Indonesia yang terjadi pada periode tertentu di masa yang lampau.
Perjalanan sejarah pendidikan di tanah air yang sangat panjang, bahkan semenjak jauh sebelum kita menacapai kemerdekaan pada tahun 1945, baik sebagai aktivitas intelektualisasi dan budaya maupun sebagai alat perjuangan politik untuk membebaskan bangsa dari belenggu kolonialisme, telah diwarnai oleh bermacam-macam corak (Sigit, 1992: xi) . Menjelang 64 tahun Indonesia merdeka, dengan system politik sebagai penjabaran demokrasi Pancasila di Era Reformasi ini yang telah mewujudkan pola Pendidikan Nasional seperti sekarang, kita mulai dapat melihat dengan ke arah mana partisipasi masyarakat dalam ikut serta menyelenggarakan pendidikan itu. Semua corak tersebut memiliki pandangan atau dasar pemikiran yang hampir sama tentang pendidikan; pendidikan diarahkan pada optimasi upaya pendidikan sebagai bagian integral dari proses pembangunan bangsa.
Di samping itu, pendidikan memiliki peranan strategis menyiapkam generasi berkualitas untuk kepentingan masa depan. Pendidikan dijadikan sebagai institusi utama dalam upaya pembentuk sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang diharapkan suatu bangsa. Apalagi kini semakin dirasakan bahwa SDM Indonesia masih lemah dalam hal daya saing (kemampuan kompetisi) dan daya sanding (kemampuan kerja sama) dengan bangsa lain di dunia (Anzizhan, 2004: 1).
Dengan demikian, setiap bidang kegiatan yang ingin dicapai manusia untuk maju, pada umumnya dikaitkan dengan bagaimana keadaan bidang tersebut pada masa yang lampau (Pidarta, 2007: 110). Demikian juga halnya dengan bidang pendidikan. Sejarah pendidikan merupakan bahan pembanding untuk memajukan pendidikan suatu bangsa.
Berikut ini adalah pembahasan landasan sejarah kependidikan di Indonesia yang meliputi:
A. SEJARAH PENDIDIKAN DUNIA
Perjalanan sejarah pendidikan dunia telah lama berlangsung, mulai dari zaman Hellenisme (150 SM-500), zaman pertengahan (500-1500), zaman Humanisme atau Renaissance serta zaman Reformasi dan Kontra Reformasi (1600-an). Namun pendidikan pada zaman ini belum memberikan kontribusinya pada pendidikan zaman sekarang (Pidarta, 2007: 110). Oleh karena itu, pendidikan pada zaman ini tidak dijabarkan dalam makalah ini.
Makalah ini membahas sejaran pendidikan dunia yang meliputi zaman-zaman: (1) Realisme, (2) Rasionalisme, (3) Naturalisme, (4) Developmentalisme, (5) Nasionalisme, (6) Liberalisme, Positivisme, dan Individualisme, serta (7) Sosialisme.
1. Zaman Realisme
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan alam yang didukung oleh penemuan-penemuan ilmiah baru, pendidikan diarahkan pada kehidupan dunia dan bersumber dari keadaan dunia pula, berbeda dengan pendidikan-pendidikan sebelumya yang banyak berkiblat pada dunia ide, dunia surga dan akhirat. Realisme menghendaki pikiran yang praktis (PIdarta, 2007: 111-14). Menurut aliran ini, pengetahuan yang benar diperoleh tidak hanya melalui penginderaan semata tetapi juga melalui persepsi penginderaan (Mudyahardjo, 2008: 117).
Tokoh-tokoh pendidikan zaman Realisme ini adalah Francis Bacon dan Johann Amos Comenius. Sedangkan prinsip-prinsip pendidikan yang dikembangkan pada zaman ini meliputi:
Ø Pendidikan lebih dihargai daripada pengajaran,
Ø Pendidikan harus menekankan aktivitas sendiri,
Ø Penanaman pengertian lebih penting daripada hafalan,
Ø Pelajaran disesuaikan dengan perkembangan anak,
Ø Pelajaran harus diberikan satu per satu, dari yang paling mudah,
Ø Pengetahuan diperoleh dari metode berpikir induktif (mulai dari menemukan fakta-fakta khusus kemudian dianalisa sehingga menimbulkan simpulan) dan anak-anak harus belajar dari realita alam,
Ø Pendidikan bersifat demokratis dan semua anak harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar (ibid.: 111-14).
2. Zaman Rasionalisme
Aliran ini memberikan kekuasaan pada manusia untuk berfikir sendiri dan bertindak untuk dirinya, karena itu latihan sangat diperlukan pengetahuannya sendiri dan bertindak untuk dirinya. Paham ini muncul karena masyarakat dengan kekuatan akalnya dapat menumbangkan kekuasaan Raja Perancis yang memiliki kekuasaan absolut.
Tokoh pendidikan pada zaman ini pada abad ke-18 adalah John Locke. Teorinya yang terkenal adalah leon Tabularasa, yaitu mendidik seperti menulis di atas kertas putih dan dengan kebebasan dan kekuatan akal yang dimilikinya manusia digunakan unutk membentuk pengetahuannya sendiri. Teori yang membebaskan jiwa manusia ini bisa mengarah kepada hal-hal yang negatif, seperti intelektualisme, individualisme, dan materialisme (ibid.: 114-15).
3. Zaman Naturalisme
Sebagai reaksi terhadap aliran Rasionalisme, pada abad ke-18 muncullah aliran Naturalisme dengan tokohnya, J. J. Rousseau. Aliran ini menentang kehidupan yang tidak wajar sebagai akibat dari Rasionalisme, seperti korupsi, gaya hidup yang dibuat-buat dan sebagainya. Naturalisme menginginkan keseimbangan antara kekuatan rasio dengan hati dan alamlah yang menjadi gurr, sehingga pendidikan dilaksanakan secara alamiah (pendidikan alam) (ibid.: 115-16). Naturalisme menyatakn bahwa manusia didorong oleh kebutuhan-kebutuhannya, dapat menemukan jalan kebenaran di dalam dirinya sendiri (Mudyaharjo, 2008: 118).
4. Zaman Developmentalisme
Zaman Developmentalisme berkembang pada abad ke-19. Aliran ini memandang pendidikan sebagai suatu proses perkembangan jiwa sehingga aliran ini sering disebut gerakan psikologis dalam pendidikan. Tokoh-tokoh aliran ini adalah: Pestalozzi, Johan Fredrich Herbart, Friedrich Wilhelm Frobel, dan Stanley Hall.
Konsep pendidikan yang dikembangkan oleh aliran ini meliputi:
Ø Mengaktualisasi semua potensi anakyang masih laten, membentuk watak susila dan kepribadian yang harmonis, serta meningkatkan derajat social manusia.
Ø Pengembangan ini dilakukan sejalan dengan tingkat-tingkat perkembangan anak (Pidarta, 2007: 116-20) yang melalui observasi dan eksperimen (Mudyahardjo, 2008: 114)
Ø Pendidikan adalah pengembangan pembawaan (nature) yang disertai asuhan yang baik (nurture).
Ø Pengembangan pendidikan mengutamakan perbaikan pendidikan dasar dan pengembangan pendidikan universal (Mudyaharjo, 2008: 114).
5. Zaman Nasionalisme
Zaman nasionalisme muncul pada abad ke-19 sebagai upaya membentuk patriot-patriot bangsa dan mempertahankan bangsa dari kaum imperialis. Tokoh-tokohnya adalah La Chatolais (Perancis), Fichte (Jerman), dan Jefferson (Amerika Serikat).
Konsep pendidikan yang ingin diusung oleh aliran ini adalah:
Ø Menjaga, memperkuat, dan mempertinggi kedudukan negara,
Ø Mengutamakan pendidikan sekuler, jasmani, dan kejuruan,
Ø Materi pelajarannya meliputi: bahasa dan kesusastraan nasional, pendidikan kewarganegaraan, lagu-lagu kebangsaan, sejarah dan geografi Negara, dan pendidikan jasmani.
Akibat negatif dari pendidikan ini adalah munculnya chaufinisme, yaitu kegilaan atau kecintaan terhadap tanah air yang berlebih-lebihan di beberapa Negara, seperti di Jerman, yang akhirnya menimbulkan pecahnya Perang Dunia I (Pidarta, 2007: 120-21).
6. Zaman Liberalisme, Positivisme, dan Individualisme.
Zaman ini lahir pada abad ke-19. Liberalisme berpendapat bahwa pendidikan adalah alat untuk memperkuat kedudukan penguasa/pemerintahan yang dipelopori dalam bidang ekonomi oleh Adam Smith dan siapa yang banyak berpengetahuan dialah yang berkuasa yang kemudian mengarah pada individualisme. Sedangkan positivisme percaya kebenaran yang dapat diamati oleh panca indera sehingga kepercayaan terhadap agama semakin melemah. Tokoh aliran positivisme adalah August Comte (ibid.: 121).
7. Zaman Sosialisme
Aliran sosial dalam pendidikan muncul pada abad ke-20 sebagai reaksi terhadap dampak liberalisme, positivisme, dan individualisme. Tokoh-tokohnya adalah Paul Nartrop, George Kerchensteiner, dan John Dewey.
Menurut aliran ini, masyarakat memiliki arti yang lebih penting daripada individu. Ibarat atom, individu tidak ada artinya bila tidak berwujud benda. Oleh karena itu, pendidikan harus diabdikan untuk tujuan-tujuan sosial (ibid.: 121-24).
B. SEJARAH PENDIDIKAN INDONESIA
Pendidikan di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Pendidikan itu telah ada sejak zaman kuno/tradisional yang dimulai dengan zaman pengaruh agama Hindu dan Budha, zaman pengaruh Islam, zaman penjajahan, dan zaman merdeka (ibid.: 125). Mudyahardjo (2008) dan Nasution (2008) menguraikan masing-masing zaman tersebut secara lebih terperinci.
Berikut ini adalah uraian dan rincian perjalanan sejarah pendidikan Indonesia:
1. Zaman Pengaruh Hindu dan Budha
Hinduisme and Budhisme datang ke Indonesia sekitar abad ke-5. Hinduisme dan Budhisme merupakan dua agama yang berbeda, namun di Indonesia keduanya memiliki kecenderungan sinkretisme, yaitu keyakinan mempersatukan figur Syiwa dengan Budha sebagai satu sumber Yang Maha Tinggi. Motto pada lambang Negara Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika , secara etimologis berasal dari keyakinan tersebut (Mudyahardja, 2008: 215)
Tujuan pendidikan pada zaman ini sama dengan tujuan kedua agama tersebut. Pendidikan dilaksanakan dalam rangka penyebaran dan pembinaan kehidupan bergama Hindu dan Budha (ibid.: 217)
2. Zaman Pengaruh Islam (Tradisional)
Islam mulai masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13 dan mencakup sebagian besar Nusantara pada abad ke-16. Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sejalan dengan perkembangan penyebaran Islam di Nusantara, baik sebagai agama maupun sebagai arus kebudayaan (ibid.: 221). Pendidikan Islam pada zaman ini disebut Pendidikan Islam Tradisional.
Tujuan pendidikan Islam adalah sama dengan tujuan hidup Islam, yaitu mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT sesuai dengan ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad s.a.w. untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. (ibid.: 223)
Pendidikan Islam Tradisional ini tidak diselenggarakan secara terpusat, namun banyak diupayakan secara perorangan melalui para ulamanya di suatu wilayah tertentu dan terkoordinasi oleh para wali di Jawa, terutama Wali Sanga.Sedangkan di luar Jawa, Pendidikan Islam yang dilakukan oleh perseorangan yang menonjol adalah di daerah Minangkabau (ibid.: 228-41).
3. Zaman Pengaruh Nasrani (Katholik dan Kristen)
Bangsa Portugis pada abad ke-16 bercita-cita menguasai perdagangan dan perniagaan Timur-Barat dengan cara menemukan jalan laut menuju dunia Timur serta menguasai bandar-bandar dan daerah-daerah strategis yang menjadi mata rantai perdagaan dan perniagaan (Mudyahardjo, 2008: 242).
Di samping mencari kejayaan (glorious) dan kekayaan (gold), bangsa Portugis datang ke Timur (termasuk Indonesia) bermaksud pula menyebarkan agama yang mereka anut, yakni Katholik (gospel). Pada akhirnya pedagang Portugis menetap di bagian timur Indonesia tempat rempah-rempah itu dihasilkan. Namun kekuasaan Portugis melemah akibat peperangan dengan raja-raja di Indonesia dan akhirnya dilenyapkan oleh Belanda pada tahun 1605 (Nasution, 2008: 4). Dalam setiap operasi perdagangan, mereka menyertakan para paderi misionaris Paderi yang terkenal di Maluku, sebagai salah satu pijakan Portugis dalam menjalankan misinya, adalah Franciscus Xaverius dari orde Jesuit.
Orde ini didirikan oleh Ignatius Loyola (1491-1556) dan memiliki tujuan yaitu segala sesuatu untuk keagungan yang lebih besar dari Tuhan (Mudyahardjo, 2008: 243). Yang dicapai dengan tiga cara: memberi khotbah, memberi pelajaran, dan pengakuan. Orde ini juga mempunyai organisasi pendidikan yang seragam: sama di mana pun dan bebas untuk semua. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang ampuh untuk penyebaran agama (Nasution, 2008: 4).
Sedangkan pengaruh Kristen berasal dari orang-orang Belanda yang datang pertama kali tahun1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dengan tujuan untuk mencari rempah-rempah. Untuk menghindari persaingan di antara mereka, pemerintah Belanda mendirikan suatu kongsi dagang yang disebut VOC (vreenigds Oost Indische Compagnie) atau Persekutuan Dagang Hindia Belanda tahun 1602 (Mudyahardjo, 2008: 245).
Sikap VOC terhadap pendidikan adalah membiarkan terselenggaranya Pendidikan Tradisional di Nusantara, mendukung diselenggarakannya sekolah-sekolah yang bertujuan menyebarkan agama Kristen. Kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh VOC terutama dipusatkan di bagian timur Indonesia di mana Katholik telah berakar dan di Batavia (Jakarta), pusat administrasi colonial. Tujuannya untuk melenyapkan agama Katholik dengan menyebarkan agama Kristen Protestan, Calvinisme (Nasution, 2008: 4-5).
4. Zaman Kolonial Belanda
VOC pada perkembangannya diperkuat dan dipersenjatai dan dijadikan benteng oleh Belanda yang akhirnya menjadi landasan untuk menguasai daerah di sekitarnya. Lambat laun kantor dagang itu beralih dari pusat komersial menjadi basis politik dan territorial. Setelah pecah perang kolonial di berbagai daerah di tanakh air, akhirnya Indonesia jatuh seluruhnya di bawah pemerintahan Belanda (ibid.: 3).
Pada tahun 1816 VOC ambruk dan pemerintahan dikendalikan oleh para Komisaris Jendral dari Inggris. Mereka harus memulai system pendidikandari dasar kembali, karena pendidikan pada zaman VOC berakhir dengan kegagalan total. Ide-ide liberal aliran Ufklarung atau Enlightement, yang mana mengatakan bahwa pendidikan adalah alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan social, banyak mempengaruhi mereka (ibid.: 8).
Oleh karena itu, kurikulum sekolah mengalami perubahan radikal dengan masuknya ide-ide liberal tersebut yang bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual, nilai-nilai rasional dan sosial. Pada awalnya kurikulum ini hanya diterapkan untuk anak-anak Belanda selama setengah abad ke-19.
Setelah tahun1848 dikeluarkan peraturan pemerintah yang menunjukkan bahwa pemerintah lambat laun menerima tanggung jawab yang lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia sebagai hasil perdebatan di parlemen Belanda dan mencerminkan sikap liberal yang lebih menguntungkan rakyat Indonesia (ibid.: 10-13).
Pada tahun 1899 terbit sebuah atrikel oleh Van Deventer berjudul Hutang Kehormatan dalam majalah De Gids. Ia menganjurkan agar pemerintahnnya lebih memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia. Ekspresi ini kemudian dikenal dengan Politik Etis dan bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui irigasi, transmigrasi, reformasi, pendewasaan, perwakilan yang mana semua ini memerlukan peranan penting pendidikan (ibid.: 16). Di samping itu, Van Deventer juga mengembangkan pengajaran bahasa Belanda. Menurutnya, mereka yang menguasai Belanda secara kultural lebih maju dan dapat menjadi pelopor bagi yang lainnya (ibid.: 17).
Sejak dijalankannya Politik Etis ini tampak kemajuan yang lebih pesat dalam bidang pendidikan selama beberapa dekade. Pendidikan yang berorientasi Barat ini meskipun masih bersifat terbatas untuk beberapa golongan saja, antara lain anak-anak Indonesia yanorang tuanya adalah pegawai pemerintah Belanda, telah menimbulkan elite intelektual baru.
Golongan baru inilah yang kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui pendidikan. Perjuangan yang masih bersifat kedaerahan berubah menjadi perjuangan bangsa sejak berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 dan semakin meningkat dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928.
Setelah itu tokoh-tokoh pendidik lainnya adalah Mohammad Syafei dengan Indonesisch Nederlandse School-nya, Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, dan Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan Pendidikan Muhammadiyah-nya yang semuanya mendidik anak-anak agar bisa mandiri dengan jiwa merdeka (Pidarta, 2008: 125-33).
5. Zaman Kolonial Jepang
Perjuangan bangsa Indonesia dalam masa penjajahan Jepang tetap berlanjut sampai cita-cita untuk merdeka tercapai. Walaupun bangsa Jepang menguras habis-habisan kekayaan alam Indonesia, bangsa Indonesia tidak pantang menyerah dan terus mengobarkan semangat 45 di hati mereka.
Meskipun demikian, ada beberapa segi positif dari penjajahan Jepang di Indonesia. Di bidang pendidikan, Jepang telah menghapus dualisme pendidikan dari penjajah Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi semua orang. Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstruksikan oleh Jepang untuk di pakai di lembaga-lembaga pendidikan, di kantor-kantor, dan dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini mempermudah bangsa Indonesia untuk merealisasi Indonesia merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945 cita-cita bangsa Indonesia menjadi kenyataan ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan kepada dunia.
6. Zaman Kemerdekaan (Awal)
Setelah Indonesia merdeka, perjuangan bangsa Indonesia tidak berhenti sampai di sini karena gangguan-gangguan dari para penjajah yang ingin kembali menguasai Indonesia dating silih berganti sehingga bidang pendidikan pada saai itu bukanlah prioritas utama karena konsentrasi bangsa Indonesia adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih dengan perjuangan yang amat berat.
Tujuan pendidikan belum dirumuskan dalam suatu undang-undang yang mengatur pendidikan. Sistem persekolahan di Indonesia yang telah dipersatukan oleh penjajah Jepang terus disempurnakan. Namun dalam pelaksanaannya belum tercapai sesuai dengan yang diharapka bahkan banyak pendidikan di daerah-daerah tidak dapat dilaksanakan karena faktor keamanan para pelajarnya. Di samping itu, banyak pelajar yang ikut serta berjuang mempertahankan kemerdekaan sehingga tidak dapat bersekolah.
7. Zaman ‘Orde Lama’
Setelah gangguan-gangguan itu mereda, pembangunan untuk mengisi kemerdekaan mulai digerakkan. Pembangunan dilaksanakan serentak di berbagai bidang, baik spiritual maupun material.
Setelah diadakan konsolidasi yang intensif, system pendidikan Indonesia terdiri atas: Pendidikan Rendah, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi. Dan pendidikan harus membimbing para siswanya agar menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Sesuai dengan dasar keadilan sosial, sekolah harus terbuka untuk tiap-tiap penduduk negara.
Di samping itu, Pendidikan Nasional zaman ‘Orde Lama’ adalah pendidikan yang dapat membangun bangsa agar mandiri sehingga dapat menyelesaikan revolusinya baik di dalam maupun di luar; pendidikan yang secara spiritual membina bangsa yang ber-Pancasila dan melaksanakan UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian Indonesia, dan merealisasikan ketiga kerangka tujuan Revolusi Indonesia sesuai dengan Manipol yaitu membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia berwilayah dari Sabang sampai Merauke, menyelenggarakan masyarakat Sosialis Indonesia yang adil dan makmur, lahir-batin, melenyapkan kolonialisme, mengusahakan dunia baru, tanpa penjajahan, penindasan dan penghisapan, ke arah perdamaian, persahabatan nasional yang sejati dan abadi (Mudyahardjo, 2008: 403).
8. Zaman ‘Orde Baru’
Orde Baru dimulai setelah penumpasan G-30S pada tahun 1965 dan ditandai oleh upaya melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Haluan penyelenggaraan pendidikan dikoreksi dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama yaitu dengan menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Menurut Orde Baru, pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam sekolah dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumahtangga, sekolah dan masyarakat(Ibid.: 422, 433). Pendidikan pada masa memungkinkan adanya penghayatan dan pengamalam Pancasila secara meluas di masyarakat, tidak hanya di dalam sekolah sebagai mata pelajaran di setiap jenjang pendidikan (ibid.: 434).
Di samping itu, dikembangkan kebijakan link and match di bidang pendidikan. Konsep keterkaitan dan kepadanan ini dijadikan strategi operasional dalam meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan pasar (Pidarta, 2008: 137-38). Inovasi-inovasi pendidikan juga dilakukan untuk mencapai sasaran pendidikan yang diinginkan. Sistem pendidikannya adalah sentralisasi dengan berpusat pada pemerintah pusat.
Namun demikian, dalam dunia pendidikan pada masa ini masih memiliki beberapa kesenjangan. Buchori dalam Pidarta (2008: 138-39) mengemukakan beberapa kesenjangan, yaitu (1) kesenjangan okupasional (antara pendidikan dan dunia kerja), (2) kesenjangan akademik (pengetahuan yang diperoleh di sekolah kurang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari), (3) kesenjangan kultural (pendidikan masih banyak menekankan pada pengetahuan klasik dan humaniora yang tidak bersumber dari kemajuan ilmu dan teknologi), dan (4) kesenjangan temporal (kesenjangan antara wawasan yang dimiliki dengan wawasan dunia terkini).
Namun demikian keberhasilan pembangunan yang menonjol pada zaman ini adalah (1) kesadaran beragama dan kenagsaan meningkat dengan pesat, (2) persatuan dan kesatuan bangsa tetap terkendali, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga meningkat (Pidarta, 2008: 141).
9. Zaman ‘Reformasi’
Selama Orde Baru berlangsung, rezim yang berkuasa sangat leluasa melakukan hal-hal yang mereka inginkan tanpa ada yang berani melakukan pertentangan dan perlawanan, rezim ini juga memiliki motor politik yang sangat kuat yaitu partai Golkar yang merupakan partai terbesar saat itu. Hampir tidak ada kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan sesuatu, termasuk kebebasan untuk berbicara dan menyaampaikan pendapatnya (ibid.: 143).
Begitu Orde Baru jatuh pada tahun 1998 masyarakat merasa bebas bagaikan burung yang baru lepas dari sangkarnya yang telah membelenggunya selama bertahun-tahun. Masa Reformasi ini pada awalnya lebih banyak bersifat mengejar kebebasan tanpa program yang jelas.
Sementara itu, ekonomi Indonesia semakin terpuruk, pengangguran bertambah banyak, demikian juga halnya dengan penduduk miskin. Korupsi semakin hebat dan semakin sulit diberantas. Namun demikian, dalam bidang pendidikan ada perubahan-perubahan dengan munculnya Undang-Undang Pendidikan yang baru dan mengubah system pendidikan sentralisasi menjadi desentralisasi, di samping itu kesejahteraan tenaga kependidikan perlahan-lahan meningkat. Hal ini memicu peningkatan kualitas profesional mereka. Instrumen-instrumen untuk mewujudkan desentralisasi pendidikan juga diupayakan, misalnya MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), Life Skills (Lima Ketrampilan Hidup), dan TQM (Total Quality Management).
III. IMPLIKASI SEJARAH TERHADAP KONSEP PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA.
Masa lampau memperjelas pemahaman kita tentang masa kini. Sistem pendidikan yang kita miliki sekarang adalah hasil perkembangan pendidikan yang tumbuh dalam sejarah pengalaman bangsa kita pada masa yang telah lalu (Nasution, 2008: v).
Pembahasan tentang landasan sejarah di atas memberi implikasi konsep-konsep pendidikan sebagai berikut:
A. Tujuan Pendidikan
Pendidikan diharapkan bertujuan dan mampu mengembangkan berbagai macam potensi peserta didik serta mengembangkan kepribadian mereka secara lebih harmonis. Tujuan pendidikan juga diarahkan untuk mengembangkan aspek keagamaan, kemanusiaan, kemanusiaan, serta kemandirian peserta didik. Di samping itu, tujuan pendidikan harus diarahkan kepada hal-hal yang praktis dan memiliki nilai guna yang tinggi yang dapat diaplikasikan dalam dunia kerja nyata.
B. Proses Pendidikan
Proses pendidikan terutama proses belajar-mengajar dan materi pelajaran harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik, melaksanakan metode global untuk pelajaran bahasa, mengembangkan kemandirian dan kerjasama siswa dalam pembelajaran, mengembangkan pembelajaran lintas disiplin ilmu, demokratisasi dalam pendidikan, serta mengembangkan ilmu dan teknologi.
C. Kebudayaan Nasional
Pendidikan harus juga memajukan kebudayaan nasional. Emil Salim dalam Pidarta (2008: 149) mengatakan bahwa kebudayaan nasional merupakan puncak-puncak budaya daerah dan menjadi identitas bangsa Indonesia agar tidak ditelan oleh budaya global.
D. Inovasi-inovasi Pendidikan
Inovasi-inovasi harus bersumber dari hasil-hasil penelitian pendidikan di Indonesia, bukan sekedar konsep-konsep dari dunia Barat sehingga diharapkan pada akhirnya membentuk konsep-konsep pendidikan yang bercirikan Indonesia.
IV. PENUTUP
Dari rangkaian masa dalam sejarah yang menjadi landasan historis kependidikan di Indonesia, kita dapat menyimpulkan bahwa masa-masa tersebut memiliki wawasan yang tidak jauh berbeda satu dengan yang lain. Mereka sama-sama menginginkan pendidikan bertujuan mengembangkan individu peserta didik, dalam arti memberi kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan potensi mereka secara alami dan seperti ada adanya, tidak perlu diarahkan untuk kepentingan kelompok tertentu. Sementara itu, pendidikan pada dasarnya hanya memberi bantuan dan layanan dengan menyiapkan segala sesuatunya. Sejarah juga menunjukkan betapa sulitnya perjuangan mengisi kemerdekaan dibandingkan dengan perjuangan mengusir penjajah.
Dengan demikian mereka berharap hasil pendidikan dapat berupa ilmuwan, innovator, orang yang peduli dengan lingkungan serta mampu memperbaikinya, dan meningkatkan peradaban manusia.
Hal ini dikarenakan pendidikan selalu dinamis mencari yang baru, memperbaiki dan memajukan diri, agar tidak ketinggalan jaman, dan selalu berusaha menyongsong zaman yang akan datang atau untuk dapat hidup dan bekerja senafas dengan semangat perubahan zaman.
Akhir kata, pendidikan mewariskan peradaban masa lampau sehingga peradaban masa lampau yang memiliki nilai-nilai luhur dapat dipertahankan dan diajarkan lalu digunakan generasi penerus dalam kehidupan mereka di masa sekarang. Dengan mewariskan dan menggunakan karya dan pengalaman masa lampau, pendidikan menjadi pengawal , perantara, dan pemelihara peradaban. Dengan demikian, pendidikan memungkinkan peradaban masa lampau diakui eksistensinya dan bukan merupakan “harta karun” yang tersia-siakan.
http://dyahrochmawati08.wordpress.com/2008/11/30/landasan-historis-pendidikan-di-indonesia/
Pendidikan Islam di Indonesia tidak pernah lepas dari semangat penyebaran Islam yang dilakukan secara intensif oleh para pendahulu dalam kerangka perpaduan antara konteks keindonesiaan dengan keislaman. Tak heran, jika pada awalnya pendidikan Islam tampak sangat tradisional dalam bentuk halaqah-halaqah. Namun seiring dengan kemajuan zaman, modernisasi pendidikan Islam mulai tampak dengan diambilnya bentuk madrasah [1] sebagai salah satu pendidikan Islam, selain pesantren. Semuanya ini dilakukan untuk memenuhi target atau tujuan pendidikan Islam yang berorientasi individual dan kemasyarakatan.
Secara umum, ada dua pandangan teoretis mengenai tujuan pendidikan Islam. [2] Pandangan teoretis yang pertama berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan masyarakat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis. Pendidikan bertujuan mempersiapkan manusia yang bisa berperan dan menyesuaikan diri dalam masyarakatnya masing-masing. Berdasarkan hal ini, tujuan dan terget pendidikan dengan sendirinya diambil dari dan diupayakan untuk memperkuat kepercayaan, sikap ilmu pengetahuan, dan sejumlah keahlian yang sudah diterima dan sangat berguna bagi masyarakat. Konsekuensinya, karena kepercayaan, sikap, ilmu pengetahuan, dan keahlian yang bermanfaat dan diterima oleh sebuah masyarakat itu senantiasa berubah, mereka berpendapat bahwa pendidikan dalam masyarakat tersebut harus bisa mempersiapkan peserta didiknya untuk menghadapi segala bentuk perubahan yang ada. [3]
Pandangan teoretis yang kedua lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan minat belajar. Pandangan ini terdiri dari dua aliran. Aliran pertama, berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik agar bisa meraih kebahagiaan yang optimal melalui pencapaian kesuksesan kehidupan bermasyarakat dan ekonomi, jauh lebih berhasil dari yang pernah dicapai oleh orang tua mereka. Dengan demikian, pendidikan adalah jenjang mobilitas sosial ekonomi suatu masyarakat tertentu. Aliran kedua lebih menekankan peningkatan intelektual, kekayaan, dan keseimbangan jiwa peserta didik. [4]
Catatan
[1] Madrasah pertama kali didirikan oleh Nizhamul Mulk Dinasti Bani Saljuk pada abad ke-15 Hijriyah, meskipun pada abad sebelumnya ada yang mengatakan Naisabur sebagai madrasah yang pertama di dunia Islam. Lihat Muhammad Munir Misri, al-Tarbiyyah al-Islamiyyah Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-'Arabiyyah, (Kairo: 'Alam al-kutub, 1977), hlm. 98.
[2] Tujuan pendidikan Islam harus disandarkan pada ukuran-ukuran yang jelas; (1) filsafat pendidikan Islam agar mampu menghadapi problem-problem sosial, (2) bersifat realistis, terukur, dan memadai sehingga dapat diimplementasikan dengan mudah, (3) sesuai dengan standar umum yang berlaku, bukan berdasarkan sesuatu yang tidak lazim sehingga sulit mengimplementasikan dalam proses pendidikan, (4) bersifat komprehensif, mencakup semua aspek yang dibutuhkan dalam pendidikan, dan (5) melibatkan segenap ahli yang mampu mendukung dalam proses pendidikan. Lihat Ibrahim Basyuni Amirah, Tadris al-'Ulum wa al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, (ttp: Dar al-Ma'arif, 1978), hlm. 108-111.
[3] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 163-165. Bandingkan dengan pemikiran Muhammad Athiyyah al-Ibrasyi, yang menegaskan tujuan pendidikan Islam lebih diorientasikan pada pengembangan pemikiran Islam, kebebasan berfikir, perluasan wilayah kajian, pengembangan ilmu dari berbagai aspek, dan nuansa falsafinya. Lihat Muhammad Athiyyah al-Ibrasyi, al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, (ttp: al-Dar al-Qaumiyyah li al-Tiba'ah wa alNasyr, 1964), hlm. 147.

[4] Ibid
http://www.ditpertais.net/jurnal/vol62003c.asp




Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah batas akhir yang dicita-citakan seseorang dan dijadikan pusat perhatiannya untuk dicapai melalui usaha. Dalam usaha terkandung cita-cita, kehendak, kesengajaan serta berkonsekwensi penyusunan daya upaya untuk mencapainya.
Tujuan pendidikan merupakan masalah sentral dalam proses pendidikan. Hal ini disebabkan oleh fuingsi-fungsi yang dipikulnya.
Pertama, tujuan pendidikan mengarahkan perbuatan mendidik. Fungsi ini menunjukkan pentingnya perumusan dan pembatasan tujuan pendidikan secara jelas. Tanpa tujuan yang jelas, proses pendidikan akan berjalan tidak efektif dan tidak efisien, bahkan tidak menentu dan salah dalam menggunakan metode, sehingga tidak mencapai manfaat. Tujuanlah yang menentukan metode apa yang seharusnya digunakan untuk mencapainya.
Kedua, tujuan pendidikan mengakhiri usaha pendidikan. Apabila tujuannya telah tercapai, maka berakhir pula usaha tersebut. Usaha yang terhenti sebelum tujuan tercapai, sesungguhnya belum dapat disebut berakhir, tetapi hanya mengalami kegagalan yang antara lain disebabkan oleh tidak jelasnya rumusan tujuan pendidikan.
Ketiga, tujuan pendidikan di satu sisi membatasi lingkup suatu usaha pendidikan, tetapi di sini lain mempengaruhi dinamikanya. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan usaha berproses yang di dalamnya usaha-usaha pokok dan usaha-usaha parsial saling terkait.
Keempat, tujuan pendidikan memberikan semangat dan dorongan untuk melaksanakan pendidikan. Hal ini juga berlaku pada setiap perbuatan.[14]
Ahmad D. Marimba, menyebutkan empat fungsi tujuan pendidikan. Pertama, tujuan berfungsi mengakhiri usaha. Suatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidaklah mempunyai arti apa-apa. Selain itu, usaha mengalami permulaan dan mengalami pula akhirnya. Ada usaha yang terhenti karena kegagalan sebelum mencapai tujuan, tetapi tujuani itu belum dapat disebut berakhir. Pada umumnya, suatu usaha baru berakhir kalau tujuan akhir telah dicapai. Kedua, tujuan berfungsi mengarahkan usaha, tanpa adanya antisipasi (pandangan ke depan) kepada tujuan, penyelewengan akan banyak terjadi dan kegiatan yang dilakukan tidak akan berjalan secara efisien. Ketiga, tujuan dapat berfungsi sebagai titik pangkal untuk mencapai tujuan lain, yaitu tujuan-tujuan baru maupun tujuan-tujuan lanjutan dari tujuan pertama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dari satu segi tujuan itu membatasi ruang gerak usaha itu. Keempat, fungsi dari tujuan pendidikan ialah memberi nilai (sifat) pada usaha itu. Ada usaha-usaha yang tujuannya lebih luhur, lebih mulia, lebih luas dari usaha-usaha lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam rumusan setiap tujuan selalu disertai dengan nilai-nilai yang hendak diusahakan perwujudannya.[15] Nilai-nilai itu tentu saja bermacam-macam, sesuai dengan pandangan yang meruimuskannya.
Jika yang merumuskan tujuan tersebut orang muslim yang taat dan luas wawasan keislamannya, tentu saja ia akan memasukkan nilai-nilai yang sejalan dengan ajaran Islam yang dianutnya. Dengan demikian, suatu rumusan tujuan pendidikan harus memiliki muatan subjektifitas dari yang merumuskannya, walaupun subjektifitas ini tidak selamanya berkonotasi negative.
Dalam hubungan fungsi ke empat dari tujuan pendidikan tersebut diatas, Hasan Langgulung menulis tentang tujuan pendidikan Islam. Menurutnya tujuan-tujuan pendidikan agama harus mampu mengkomodasikan tiga fungsi dari agama, yaitu fungsi spiritual yang berkaitan dengan aqidah dan iman, fungsi psikologis yang berkaitan dengan tingkah laku individual termasuk nilai-nilai akhlak yang mengangkat derajat manusia ke derajat yang lebih sempurna, dan fungsi sosial yang berkaitan dengan aturan-aturan yang menghubungkan manusia dengan manusia lain atau masyarakat, di mana masing-masing menyadari hak-hak dan tanggungjawabnya untuk menyusun masyarakat yang harmonis dan seimbang.[16] Uraian ini pada intinya menegaskan bahwa suatu rumusan pendidikan Islam, tidaklah bebas dibuat kesehendak yang menyusunnya, melainkan berpijak pada nilai-nilai yang digali dari ajaran Islam itu sendiri. Dengan cara demikianlah, maka tujuan tersebut dapat memberi nilai terhadap kegaitan pendidikan.
Mohammad Al-Taumy Al-Syaibani, mengatakan bahwa hubungan antara tujuan dan nilai-nilai amat berkaitan erat, karena tujuan pendidikan merupakan masalah nilai itu sendiri. Pendidikan mengandung pilihan bagi arah kemana perkembangan murid-murid akan diarahkan. Dan pengarahan ini sudah tentu berkaitan erat dengan nilai-nilai. Pilihan terhadap suatu tujuan mengandung unsur mengutamakan terhadap beberapa nilai atas yang lainnya. Nilai-nilai yang dipilih sebagai pengaruh dalam merumuskan tujuan pendidikan tersebut pada akhirnya akan menentukan corak masyarakat yang akan dibina melalui pendidikan itu.[17]
Dari uraian singkat tentang fungsi tujuan pendidikan tersebut di atas, penulis akan memaparkan rumuisan tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan.
Ahmad Tafsir, mencoba menjelaskan tujuan pendidikan Islam dengan merujuk kepada berbagai pendapat para pakar pendidikan Islam. Dari berbagai pendapat tersebut, ia membagi tujuan pendidikan Islam kepada yang bersifat umum dan yang bersifat khusus. Menurutnya untuk merumuskan tujuan pendidikan Islam secara umum harus diketahui lebih dahulu cirri manusia sempurna menurut Islam, yaitu dengan mengetahui lebih dahulu hakikat manusia menurut Islam.[18]
Konsepsi manusia yang sempurna menurut Islam, sangat membantu dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam. Menurut konsep Islam, manusia adalah makhluk yang memiliki unsur jasmani dan rohani, fisik dan jiwa yang memungkinkan ia dapat diberikan pendidikan. Selanjutnya manusia ditugaskan untuk menjadi khalifah di muka bumi sebagai pengamalan ibadah kepada Tuhan, dalam arti yangs seluas-luasnya. Konsekwensi ini pada akhirnya akan membantu merumuskan tujuan pendidikan, karena tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah gambaran ideal dari manusia yang ingin melalui pendidikan.
Menurut Ahmad D. Marimba, Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian utama.[19] Dalam definisi ini terlihat jelas bahwa secara umum yang dituju oleh kegiatan pendidikan adalah terbentuknya kepribadian utama. Definisi ini tampak sejalan dengan prinsip di atas yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah gambaran manusia yang kekal
Hasan Langgulung, berbicara tentang tujuan pendidikan tidak dapat tidak mengajak kita berbicara tentang tujuan hidup. Sebab pendidikan bertujuan untuk memelihara kehidupan manusia. Tujuan ini menurutnya tercermin dalam surat al-An’am ayat 162 yang berbunyi
“Katakanlah : Sesungguhnya shalatku, ibadahku hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al-An-‘am : 162)[20]
Menurut Mohammad Athiyah. Pendidikan moral adalah jiwa dari pendidikan Islam, dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan moral dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan yang sebenarnya dari pendidikan Islam.[21]Pada definisi ini nampak bahwa gambaran manusia yang idela yang harus dicapai melalui kegiatan pendidikan adalah manusia yang bermoral. Hal ini nampak sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad SAW, yaitu untuk menyempurnakan moral yang mulia.
“Sesungguhnya saya diutus hanya untuk menyempurnakan moral yang mulia”.[22]
Ali Ashraf mengatakan bahwa pendidikan seharusnya bertujuan menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia melalui latihan spiritual, intelek, nasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh manusia. Karena itu pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspek spiritual, intelektual, imaginative, fiscal, ilmiah, linguistic, baik secara individual maupun secara kolektif dan memotivasi semua aspek untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan Islam adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah, pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya.[23]
Sejalan dengan upaya pembinaan seluruh potensi manusia sebagaimana disebutkan di atas, menarik sekali pendapat yang dikemukakan Muhammad Quthub. Menurutnya,
Islam melakukan pendidikan dengan melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap manusia, sehingga tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikitpun, baik segi jasmani maupun segi rohani, baik kehidupan secara mental, dan segala kegiatannya di muka bumi ini. Islam memandang anusia secara totalitas, mendekatnya atas dasar apa yang terdapat dalam dirinya, atas dasar fitrah yang diberikan Allah kepadanya, tidak sedikitpun yang diabaikan dan tidak memaksakan apa pun selain apa yang dijadikannya sesuai dengan fitrahnya.[24]
Pendapat ini memberikan petunjuk dengan jelas bahwa dalam rangka mencapai pendidikan, Islam mengupayakan pembinaan seluruh potensi manusia secara serasi dan seimbang.
Mohammad al-Toumy al-Syaibany, menjabarkan tujuan pendidikan Islam menjadi :
1. Tujuan-tujuan individual yang berkaitan dengan individu-individu, pelajaran (learning) dan dengan pribadi-pribadi mereka, dan apa yang berkaitan dengan individu-individu tersebut. Pada perubahan yang diinginkan pada tingkah laku, aktifitas dan pencapaiannya, dan pada pertumbuhan yang diingini pada pribadi mereka, dan pada persiapan yang dimestikan kepada mereka pada kehidupan dunia dan akhirat.
2. Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat umumnya, dan dengan apa yang berkaitan dengan kehidupan ini tentang perubahan yang diingini, dan pertumbuhan, memperkaya pengalaman dan kemajuan yang diigninkan.
3. Tujuan-tujuan professional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai suatu aktifitas di antara aktifitas-aktifitas masyarakat.[25]
Proses pendidikan Islam berusaha mencapai ketiga tujuan itu, yaitu tujuan individual, tujuan sosial dan tujuan professional. Ketiga tujuan ini secara terpadu dan terarah diuisahakan agar tercapai dalam proses pendidikan Islam. Dengan tujuan ini pula, jelas ke mana pendidikan Islam diarahkan.
Dari pengertian-pengertian tujuan pendidikan Islam yang dikemukakan oleh para pakar pendidikan tersebut di atas, dapatlah penulis mengambil kesimpulan sesuai dengan ruang lingkup pembahasan skripsi ini, bahwa pendidikan Islam berupaya menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas tidak hanya pada aspek kognitif tetapi juga pada aspek afektif dan psiko-motorik. Transformasi nilai-nilai moral menjadi prioritas utama pendidikan selain transfer ilmu pengetahuan. Sehingga terbentuk seorang siswa yang intelek dan bermoral tinggi.

http://ridwan202.wordpress.com/2008/04/16/pendidikan-islam-dan-moralitas/








BENTUK-BENTUK TES HASIL BELAJAR DAN TEKNIK PENYUSUNANNYA
1. Tes Hasil Belajar Bentuk Uraian
a. Pengertian Tes Uraian
Tes uraian (essay test), sering dikenal dengan istilah tes subyektif, adalah salah satu jenis tes hasil belajar yang memiliki karakteristik sebagaimana dikemukakan berikut ini:
1. Tes berbentuk pertanyaan atau perintah yang menghendaki jawaban berupa uraian.
2. Bentuk-bentuk pertanyaan menuntut kepada testee untuk memberikan penjelasan, komentar, penafsiran, membandingkan, membedakan, dan sebaginya.
3. Jumlah butir soalnya umumnya terbatas.
4. Umumnya soal tes uraian diawali dengan kata-kata: “Jelaskan…”, “Terangkan…”, dan lain-lain.
b. Penggolongan Tes Uraian
Tes uraian dibedakan menjadi dua golongan, yaitu: tes uraian bentuk bebas atau terbuka, yakni jawaban yang dikehendaki muncul dari testee sepenuhnya. Artinya testee mempunyai kebebasan seluas-luasnya dalam merumuskan, mengorganisasikan dan menyajikan jawabannya dalam bentuk uraian. Adapun, tes uraian bentuk terbatas, artinya jawaban yang dikehendaki muncul dari testee adalah jawaban yang sifatnya sudah lebih terarah.
c. Segi-segi Kebaikan dan Kelemahan Tes Uraian
Keunggulan – keunggulan :
1. Tes uraian merupakan jenis tes yang pembuatannya dapat dilakukan dengan mudah dan cepat.
2. Dapat dicegah memungkikan timbulnya permaianan spekulasi dikalangan testee.
3. Penyusunan soal akan dapat mengetahui seberapa jauh tingkat kedalaman dan tingkat penguasaan testee dalam memahami materi.
4. Testee akan terdorong dan terbiasa untuk berani mengemukakan pendapat dengan menggunakan gaya bahasa hasil olahan sendiri.
Kelemahan :
1. Kurang dapat menampung atau mencakup dan mewakili isi dan luasnya materi yang telah diberikan kepada testee.
2. Cara mengoreksi jawaban cukup sulit.
3. Dalam pemberian skor hasil tes uraian, tedapat kecenderungan testee bersifat subjektif.
4. Pekerjaaan koreksi terhadap lembar jawaban sulit diserahkan kepada orang lain.
5. Daya ketepatan mengukur (validitas) dan daya keajegan mengukur (reliabilitas) yang dimiliki tes uraian umumnya rendah sehingga kurang dapat diandalkan.
http://dbitchestcomplete.blog.friendster.com/2008/06/tugas-epd-pentingg/



Tes Uraian atau Subjective Test (Essay Test)

Tes uraian ialah tes yang disajikan dalam bentuk uraian, yang mengharapkan jawaban dalam bentuk uraian pula. Biasanya untuk mengukur kemampuan anak dalam menjabarkan, memadukan, dan menilai aspek kognitif di samping kemampuan lainnya.
1. Kelebihan Tes Uraian
· Mudah disiapkan dan disusun
· Siswa tidak mudah berspekulasi
· Mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat serta menyusunnya dalam kalimat yang baik
· Untuk mengetahui sejauh mana siswa memahami dan menguasai materi
· Ekonomis, sebab dapat menggunakan kertas yang sedikit
2. Kelemahan Tes Uraian
· Kadar validitas dan reliabilitas rendah
· Scope yang dinilai sempit
· Pemeriksaan yang sulit dan subjektif
· Hanya dapat diperiksa oleh guru yang bersangkutan
3. Petunjuk Penyusunan Tes Uraian
· Hendaknya tes meliputi ide-ide pokok bahan yang akan dites-kan
· Soal tidak sama persis dengan contoh yang ada pada catatan
· Pada waktu menyusun soal, hendaknya juga dibuatkan kunci jawaban
· Pertanyaan menggunakan kata tanya yang bervariasi
· Hendaknya rumus yang digunakan dalam menjawab soal jelas dan mudah dipahami
· Hendaknya ditegaskan model jawaban yang dikehendaki oleh pembuat, untuk itu harus spesifik dan tidak terlalu umum
4. Cara Melakukan Pen-skor-an Tes Uraian
· Perhatikan petunjuk penyusunan soal, untuk menentukan skor jawaban sebaiknya digunakan kriteria yang akan digunakan
· Setiap jawaban soal hendaknya diklasifikasi dalam 4 atau 5 tingkatan, dengan skor 0, 1, 2, 3, 4 atau dengan huruf A, B, C, D dan E.
· Tiap nomor soal seharusnya ditentukan bobot masing-masing
· Skor mentah yang diperoleh ditransfer ke nilai 1 – 10 atau 1 – 100
· Contoh : Apakah yang dimaksud dengan titik fokus pada elips?
http://math04-uinmks.blogspot.com/2008/02/tes-uraian-dan-cara-pembuatannya.html

2. Tes esai Tes esai adalah suatu bentuk tes yang terdiri dari pertanyaan atau suruhan yang menghendaki jawaban yang berupa uraian-uraian yang relatif panjang Nurkancana dan Sumartana (1986: 42). Tes dirancang untuk mengukur hasil belajar di mana unsur-unsur yang diperlukan untuk menjawab soal dicari, diciptakan dan disusun sendiri oleh pengambil tes. Peserta tes harus menyusun sendiri kata-kata dan kalimat-kalimat dalam merumuskan jawabannya. Butir soal mengandung pertanyaan atau tugas yang jawaban atau pengerjaan soal tersebut harus dilakukan dengan cara mengekspresikan pikiran peserta tes (Zainul dan Nasoetion, 1996 : 33), constructed-response tests are those that call for the examinee to produce something (Popham, 1981 : 266).
Bentuk-bentuk pertanyaan atau suruhan meminta pada murid-murid untuk menjelaskan, membandingkan, menginterpretasikan dan mencari perbedaan. Semua bentuk pertanyaan tersebut mengharapkan agar murid-murid menunjukkan pengertian mereka terhadap materi yang dipelajari. Tes esai digunakan untuk mengatasi kelemahan daya ukur soal objektif yang terbatas pada hasil belajar rendah. Soal tes bentuk ini cocok untuk mengukur hasil belajar yang level kognisinya lebih dari sekedar memanggil informasi, karena hasil belajar yang diukur bersifat kompleks (Subino, 1987 : 1) dan sangat mementingkan kemampuan menghasilkan, memadukan dan menyatakan gagasan (Grounlund, 1981 : 71). Grounlund (1985 : 211) mengatakan,
Some aspects of complex achievement are difficult to measure objectively. Learning outcomes that indicate pupils are to originate ideas, to organize and express ideas, and to integrate ideas in a global attack on a problem, require the greater freedom of response provided by essay test.
Soal uraian (essay) berbeda dengan soal objektif dalam kebenarannya yang bertingkat. Jawaban tidak dinilai mulai dari 100% benar dan 100% salah. Kebenaran bertingkat tergantung tingkat kesesuaian jawaban siswa dengan jawaban yang dikehendaki yang dituangkan dalam kunci. Jawaban mungkin mengarah kepada jawaban yang tidak tunggal (divergence). Kebenaran yang dicapai bisa 0%, 20%, 30%, 50%, 70%, atau 100% tergantung ketepatan jawabannya.
Di banding dengan tes objektif, soal esai mempunyai beberapa keunggulan. Pertama, kekuatan soal untuk mengukur hasil belajar yang kompleks dan melibatkan level kognitif yang tinggi. Kedua, memberi kesempatan pada anak untuk menyusun jawaban sesuai dengan jalan pikirannya sendiri. Kecakapan ini sangat penting dalam kehidupan masyarakat karena individu dalam masyarakat tidak hanya mengadakan pilihan terhadap alternatif-alternatif tapi harus menggunakan alternatif lain yang lebih berguna (Nurkancana dan Sumartana, 1986 : 42).
Meski soal esai sangat berguna, namun memiliki beberapa kelemahan. Pertama, terdapat subjektivitas dalam penilaiannya karena penilai yang berbeda atau situasi yang berbeda. Dua atau lebih penilai memberikan penilaian terhadap jawaban yang sama atau seorang penilai menilai sebuah jawaban pada situasi yang berbeda sangat mungkin menghasilkan nilai yang berbeda. Kedua, tes esai menghendaki jawaban yang panjang, sehingga tidak memungkinkan ditulis butir tes dalam jumlah banyak. Akibatnya, soal tidak representatif dalam mengukur kemampuan yang diharapkan. Ketiga, penggunaan soal esai membutuhkan waktu koreksi yang lama dalam menentukan nilai.
Mengenai tes esai, berdasarkan berbagai pendapat dapat disimpulkan sebagai tes yang semua unsur yang diperlukan oleh peserta tes untuk menjawabnya harus diciptakan, dicari dan disusun sendiri. Jawaban yang berupa uraian menyebabkan tingkat kebenarannya berderajad, sesuai dengan tingkat kesesuaian jawaban dengan kunci jawabannya.
Sehubungan dengan penggunaan bentuk tes objektif dan esai, tes objektif memberikan hasil belajar yang lebih baik dibandingkan dengan tes esai. Hal demikian bisa terjadi karena tes objektif umumnya hanya mampu mengukur level kognisi yang paling rendah, yaitu ingatan. Tingkat ingatan (C1) dalam taksonomi Bloom memerlukan kemampuan yang paling rendah dalam perolehan hasil belajar. Taksonomi disusun dari level kognisi yang paling sederhana, yaitu ingatan (C1) hingga yang paling kompleks yaitu evaluasi (C6). The major categories in the cognitive domain are knowledge, comprehension, application, analysis, synthesis and evaluation. These categories begin with the relatively simple knowledge outcomes and proceed through increasingly complex levels of intellectual ability (Grounlund, 1985 : 32).
http://suyono.com/2008/02/bentuk-tes-dan-tingkah-laku-belajar/
PENGARUH KOMPETENSI PROFESIONALISME GURU TERHADAP INTELEGENSI SISWA KELAS VIII MTS AL-HIKAM GEGER MADIUN

LATAR BELAKANG
Intelegensi anak merupakan potensi bawaan yang sering dikaitkan dengan berhasil tidaknya anak belajar disekolah. Potensi seseorang untuk memahami apa yang dibaca, mencerna, menyimpan ingatan bahkan memanggil kembali atau menggunakan apa yang telah dipelajari dan diingatnya amat tergantung pada beberapa hal, yang salah satunya adalah potensi intelektual. Siswa yang berpotensi tinggi cenderung dan seyogyanya dapat memperoleh prestasi belajar yang tinggi, sebaliknya siswa yang memiliki potensi yang rendah cenderung untuk memperoleh prestasi belajar yang rendah pula. Tinggi rendahnya kualitas belajar siswa yang dapat diketahui dari indicator kualitas proses dan hasil belajar. Sebuah penjelasan atau informasi lisan atau tertulis yang tidak memberikan gambaran secara utuh terhadap isi penjelasan atau informasi, maka dapat membuat siswa kurang faham, salah faham, atau bahkan tidak faham terhadap informasi atau penjelasan yang diberikan gurunya, maka dari itu diperlukan alat atau media untuk dapat membantu siswa memahami penjelasan tersebut.
Dari teori tersebut diatas, seharusnya siswa mampu memahami penjelasan yang disampaikan guru, karena pada zaman sekarang ini intelegensi anak-anak sudah cukup tinggi sebab pendidikan sejak dini sudah digalakkan, akan tetapi realitanya masih banyak ditemukan sekitar 10% siswa tidak faham terhadap pelajaran yang disampaikan oleh guru, sering tidak teliti dalam menjawab soal-soal ujian, dan yang lebih parahnya lagi siswa yang cara berfikirnya lambat sering dikucilkan oleh teman-temannya. Berdasarkan fakta tersebut teridentifikasi beberapa masalah antara lain mengenai daya tangkap siswa rendah atau intelegensi siswa rendah, kurangnya ketelitian siswa, dan tingkat IQ nya kurang sempurna. Dari identifikasi masalah tersebut penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang intelegensi peserta didik yang rendah.
Kesenjangan tersebut diatas, merupakan masalah yang penting dan mendesak untuk diteliti. Oleh karena itu penelitian ini berusaha mengungkap mengapa kesenjangan tersebut diatas bisa terjadi.
Dari penjelasan tersebut, dugaan sementara kenapa 10% siswa kelas VIII di Mts..Al-hikam Geger Madiun sering tidak faham terhadap pelajaran yang disampaikan oleh guru karena kompetensi profesionalisme yang dimiliki guru kurang baik atau tidak sempurna.
Dari fenomena tersebut maka penelitian ini berjudul “ Pengaruh kompetensi profesionalisme guru terhadap intelegensi siswa kelas VIII di Mts.Al-Hikam Geger Madiun tahun pelajaran 2008-2009

IDENTIFIKASI MASALAH
BATASAN MASALAH
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis merumuskan permasalahan. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:
Seberapa besar pengaruh ketrampilan guru dalam memilih bahan pengajaran terhadap intelegensi siswa kelas VIII Mts.Al-Hikam Geger Madiun tahun pelajaran 2008-2009?
Seberapa besar pengaruh ketrampilan guru dalam memilih metode pengajaran terhadap intelegensi siswa kelas VIII Mts.Al-Hikam Geger Madiun tahun pelajaran 2008-2009?
Seberapa besar pengaruh ketrampilan guru dalam menggunakan evaluasi pengajaran terhadap intelegensi siswa kelas VIII Mts.Al-Hikam Geger Madiun tahun pelajaran 2008-2009?

TUJUAN PENELITIAN
Agar penelitian ini tidak menyimpang dari permasalahan, maka perlu dirumuskan tujuan penelitian. Adapun tujuan penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh ketrampilan guru dalam memilih bahan pengajaran terhadap intelegensi siswa kelas VIII Mts.Al-Hikam Geger Madiun tahun pelajaran 2008-2009.
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh ketrampilan guru dalam memilih metode pengajaran terhadap intelegensi siswa kelas VIII Mts.Al-Hikam Geger Madiun tahun pelajaran 2008-2009.
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh ketrampilan guru dalam memilih evaluasi pengajaran terhadap intelegensi siswa kelas VIII Mts.Al-Hikam Geger Madiun tahun pelajaran 2008-2009.

MANFAAT PENELITIAN
Secara teoritik penelitian ini akan menguji ada tidaknya pengaruh profesionalisme guru terhadap intelegensi siswa kelas VIII Mts.Al-Hikam Geger Madiun tahun pelajaran 2008-2009.
Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi :
Peneliti sendiri, sehingga dimasa yang akan datang peneliti bisa menjadi seorang guru professional dalam menggali potensi dan meningkatkan intelegensi siswa.
Guru, sehingga dapat menentukan belajar mengajar seperti apa yang akan dilakukan agar siswa bisa memahami pelajaran yang disampaikan.
Murid, sehingga siswa dapat menangkap, mengingat, dan memahami pelajaran.

LANDASAN TEORI
A. Teori Independen dan Dependen
Kompetensi Profesionalisme guru
a. Pengertian
Menurut Rice dan Bishoprick (1971) guru professional adalah guru yang mampu mengelola dirinya sendiri dalam melaksanakan tugas-tugasnya sehari-hari. Sedangkan menurut Guckman, seorang guru dapat dikatakan professional bilamana memiliki kemampuan tinggi ( high level of abstract) dan motivasi kerja tinggi (high level of commitment).
b. Kriteria Profesional
Guru adalah jabatan profesional yang memerlukan berbagai keahlian khusus sebagai suatu profesi, maka harus memenuhi kriteria professional, yaitu:
1) Fisik
Ø Sehat jasmani dan rohani
Ø Tidak mempunyai cacat tubuh yang bisa menimbulkan ejekan atau cemoohan atau rasa kasihan dari anak didik
2) Mental atau kepribadian
Ø Berkepribadian atau berjiwa pancasila
Ø Mampu menghayati GBHN
Ø Mencintai bangsa dan sesama manusia dan rasa kasih sayang kepada anak didik
Ø Berbudi pekerti yang luhur
Ø Menunjukkan rasa cinta kepada profesinya.
3) Keilmiahan
Ø Memahami ilmu yang dapat melandasi pembentukan pribadi
Ø Memahami ilmu pendidikan dan keguruan dan mampu menerapkannya dalam tugasnya sebagai pendidik
Ø Memahami, menguasai, serta mencintai ilmu pengetahuan yang akan diajarkan
Ø Memiliki pengetahuan yang cukup tentang bidang-bidang yang lain.
c. Syarat guru sebagai profesi
Ø Memiliki fungsi dan signifikasi social sebagai ladang pengabdian guru kepada masyarakat
Ø Menuntut adanya ketrampilan yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan
Ø Didukung oleh suatu disiplin ilmu
Ø Memiliki organisasi profesi dan kode etik bagi anggotanya dalam berperilaku disertai dengan sanksi tertentu
Ø Berhak untuk memperoleh imbalan financial atau material.
d. Kemampuan professional
Yang termasuk dalam kemampuan professional ini adalah:
1) Menguasai landasan kependidikan, meliputi: mengenal tujuan pendidikan, mengenal fungsi sekolah dalam masyarakat, mengenal prinsip-prinsip psikologi pendidikan yang dapat dimanfaatkan dalam proses belajar mengajar.
2) Menguasai bahan pengajaran, meliputi: menguasai bahan pengajaran kurikulum pendidikan dasar dan menengah, dan menguasai bahan pengayaan.
3) Menyusun program pengajaran, meliputi: menetapkan tujuan, memilih dan mengembangkan bahan pembelajaran, memilih dan mengembangkan strategi belajar mengajar, memilih dan mengembangkan media pengajaran yang sesuai, memilih dan memanfaatkan sumber belajar.
4) Melaksanakan program pengajaran, meliputi: menciptakan iklim belajar mengajar yang tepat, mengatur ruangan belajar, mengelola intaraksi belajar mengajar.
5) Menilai hasil dan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan meliputi: menilai siswa untuk kepentingan penajaran, menilai proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan.

Intelegensi
e. pengertian
intelegensi adalah salah satu kemampuan mental, pikiran atau intelektual manusia. Intelegensi merupakan bagian dari proses-proses kognitif pada urutan yang lebih tinggi (highes order cognition). Secara umum intelegensi sering disebut kecerdasan, sehingga orang yang memiliki intel;egensi tinggi sering disebut juga sebagai orang cerdas atau jenius.
Selain pengertian diatas, ada beberapa pengertian lain menuret para ahli, yaitu:
Ø Super dan Cites, intelegensi adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan atau belajar dari pengalaman.
Ø Garrett (1946), intelegensi mencakup kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk pemecahan masalah-masalah yang memerlukan pengertian serta menggunakan symbol-simbol
Ø Biscor (1954), intelegensi adalah kemampuan untuk memecahkan segala jenis masalah.
Ø Heindentich (1970), intelegensi menyangkut kemampuan untuk belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha penyesuaian terhadap situasi-situasi yang kurang dikenal atau dalam pemecahan masalah-masalah.
Ø Thorndike, intelegensi adalah kesanggupan untuk mengadakan respon yang baik sesuia dengan fakta yang dihadapi.
Ø Willian Stern, intelegensi adalah kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru dengan menggunakan alat berfikir yang sesuai dengan tujuannya.
f. Intelegensi sebagai kemampuan
Dengan perkembangan intelegensi buatan (AI Artifical Intelligence) para ahli psikologi mempertimbangkan kamampuan computer untuk bertindak inteligen atau cerdas seperti yang dilakukan manusia. Berdasarkan pengetahuan mengenai intelegensi buatan ini, Nickerson, Perkins, dan Smith (dalam solso 1988) membuat daftar kemampuan yang mereka percayai sebagai representasi dari intelegensi manusia sebagai mana berikut:
Ø Kemampuan mengklasifikasikan pola-pola obyek
Ø Kemampuan beradaptasi (kemampuan belajar)
Ø Kemampuan menalar secara deduktif
Ø Kemampuan menalar secara induktif (membuat generalisasi)
Ø Kemampuan mengembangkan dan menggunakan konsep
Ø Kemampuan memahami
g. Karaktiristik perilaku intelegen
Menurut pendapat Wechsler (1975), ada empat karakteristik pelilaku intelegen (intelligent behavior ) yaitu:
Ø Adanya kesadaran (condition of Awareness): orang yang intelegen menyadari tindakan-tindakannya dan cara-cara yang ditempuh. Hal ini berbeda dengan perilaku instink atau reflek
Ø Perilaku intelegen selalu mempunyai tujuan atau diarahkan pada sasaran tertentu (goal directed) bukan dilakukan secara acak (random)
Ø Perilaku intelegen adalah rasional; kemampuan untuk berfikir logis dan konsisten sehingga dapat dipahami.
Ø Perilaku intelegen harus memiliki nilai (makna) dan kegunaan, paling sedikit hal ini menurut kesepakatan pendekatan kelompok.

B. TELAAH PUSTAKA
Berdasarkan pencarian diperpustakaan telah ditemukan beberapa judul yang mirip dengan penelitian ini, dan penelitian ini menempati urutan kedelapan dari temuan-temuan tersebut. Adapun judul temuan tersebut adalah:

Judul

Penulis
NIM/No Profesionalisme guru dalam meningkatkan pendidikan agama siswa dimts.miftahul ulum kradinan dolopo madiun.
Ghufron Mahmud
243972043/KT.2003.Pai 09
Judul

Penulis
NIM/No Upaya kepala sekolah dalam peningkatan pfofesionalisme guru diSLTP Ma’arif 1 ponorogo
Nur Kholis
243972099/RT.2003.PAI 47

Judul

Penulis
NIM/No
Membahas tentang Pengaruh kepemimpinan kepala sekolah terhadap peningkatan profesionalisme guru di MA ma’arif pacitan
Harun Al-Rasyid
243972046/RT.2003.PAI 72
Ø1 Bagaimana kepemimpinan kepala sekolah di MA Ma’arf kab pacitan
Ø2 Bagaimana peningkatan profesionalisme guru di MA Ma’arif kab pacitan
Ø3 Adakah pengruh kepemimpinan kepala sekolah terhadap peningkatan profesionallisme guru di MA Ma’arif kab pacitan
Judul

Penulis
NIM/No
Membahas tentang Intelektual, Emotional dan spiritual quotion (IQ) dalam perspektif pendidikan islam
Maharlika
243992103/Rt.2003.PAI 96
Ø4 Bagaimana paradigama intellectual quotient (IQ) dalam perspektif pendidikan islam
Ø5 Bagaimana paradigama emotional quotient (EQ) dalam perspektif pendidikan islam
Ø6 Bagaimana paradigama Spiritual quotient (SQ) dalam perspektif pendidikan islam
Judul

Penulis
NIM/No
Membahas tentang Peran orang tua terhadap perkembangan intelegensi anak dalam proses pendidikan
Zulaikha
243002115/RT.2004.PAI 34
Ø7 Bagaimana tugas orang tua terhadap anak dalam proses pendidikan
Ø8 Bagaimana tahap perkembangan intelegensi anak dalam proses pendidikan
Ø9 Bagaimana peran orang tua terhadap perkembangan intelegensi anak dalam proses pendidikan
Judul

Penulis
NIM/No
Membahas tentang Penaruh profesionalisme guru terhadap implementasi kurikulum berbasis kompetensi dalam bidang studi PAI di MAN pacitan
Nasid Nafi’ah
243012077/RT.2005.Pai 09
Ø1 Bagaimana profesionalisme guru bidang studi PAI di MAN pacitan
Ø2 Bagaimana implementasi kurikulum berbasis kompetensi bidang studi PAI di MAN pacitan
Ø3 Adakah pengaruh profesionalisme guru terhadap implementasi kurikulum berbasis kompetensi bidang studi PAI di MAN pacitan
Judul


Penulis
NIM/No Pembinaan kompetensi professional guru dalam peningkatan mutu pembelajaran (studi kasus di MA pesantren putrid Al-Mawaddah ponorogo)
Iswati
243002030/RT.2006.PAI 042
Judul
Pengaruh kompetensi profesionalisme guru terhadap intelegensi siswa kelas VIII di Mts.Al-Hikam Geger Madiun

C. KERANGKA BERFIKIR
Berdasarkan landasan teori dan telaah pustaka diatas, kerangka berfikir dalam penelitian ini adalah:
1. Jika ketrampilan guru dalam memilih bahan pengajaran tepat dan baik, maka intelegensi siswa akan semakin meningkat.
2. Jika ketrampilan guru dalam memilih metode pengajaran tepat dan baik, maka intelegensi siswa akan semakin meningkat.
3. Jika ketrampilan guru dalam memilih evaluasi pengajaran tepat dan baik, maka intelegensi siswa akan semakin meningkat.

D. HIPOTESIS
Dalam penelitian ini, penulis mengajukan hipotesi yaitu:
1. Ada pengaruh ketrampilan guru dalam memilih bahan pengajaran terhadap intelegensi siswa kelas VIII di Mts.Al-Hikam Geger Madiun tahun ajaran 2008-2009.
2. Ada pengaruh ketrampilan guru dalam memilih metode pengajaran terhadap intelegensi siswa kelas VIII di Mts.Al-Hikam Geger Madiun tahun ajaran 2008-2009
3. Ada pengaruh ketrampilan guru dalam memilih evaluasi pengajaran terhadap intelegensi siswa kelas VIII di Mts.Al-Hikam Geger Madiun tahun ajaran 2008-2009

METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan variabel. Sedangkan pengertian variabel yairu obyek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Variabel itu sendiri ada dua yaitu:
1. Variabel bebas (Independent) Yang merupakan variabel yang menjadi sebab pereubahannya atau timbul variabel dependen
2. Variabel terikat (dependent) yang merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas.
Dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel independent dan variabel dependen, variabel independent adalah kompetensi profesoinalsme guru dan variabel dependen adalah intelegensi.hal ini sesuai dengan rancangan pada gambar dibawah ini :










Keterangan :
X1 : Ketrampilan memilih bahan pengajaran
X2 : Ketrampilan memilih metode pengajaran
X3 : Ketrampilan memilih evaluasi pengajaran
Y : Intelegensi


Populasi dan Sampel
Dalam penelitian kuantitatif, polulasi diartikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi populasi dalam penelitian kuantitatif ini seorang peneliti harus menetapkan karakteristik terlebih dahulu sebelum ia menarik kesimpulan.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa-siswi Mts.Al-hikam geger Madiun dengan jumlah keseluruhannya 65 siswa. Adapun tabel perinciannya seperti dibawah ini:

Kelas L P Jumlah
VII 12 26 38
VIII 13 14 27
Jumlah 25 40 65

Sampel adalah wilayah atau wakil dari populasi yang diteliti. Adapun teknik pengambilan sampel yang biasa dikenal antara lain: sampling acak (random sampling), sampling kelompok (cluster sampling), sampling berstrata (stratified sampling), sampling bertujuan (purposive sampling), sampling daerah atau sampling wilayah (area sampling), sampling kembar (double sampling), dan sampling berimbang (proportional sampling). Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel menggunakan teknik sampling berstrata atau bertingkat yang didalam populasi terdapat kelompok-kelompok subyek dan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain tampak adanya strata atau tingkatan.
Instumen Pengumpulan data

Judul Variabel penelitian Sub Variabel Indikator Intrumen Pengumpulan data
Pengaruh kompetensi profesionalisme guru terhadap intelegensi siswa kelas VIII di Mts.Al-Hikam Geger MAdiun tahun Variabel Independen
X : Kompetensi profesionalisme guru

















Variabel
Dependen
Y : Intelegensi 2008-2009 X1 : Ketrampilan memilih bahan ajar atau materi
X2 : Ketrampilan memilih metode pengajaran
X3 : Ketrampilan memilih evaluasi pengajaran



------ Ø1 Memilih meteri yang tepat, menguasai bahan pengajaran

Ø2 Menyusun metode pembelajaran, menguasai metode pengajaran

Ø3 Menilai hasil dan proses pembelajaran




Ø4 Bisa memahami materi yang diajarkan
1, 2









3, 4











5











6

Teknik Pengumpulan Data
Angket atau kuesioner
Angket atau kuesioner merupakan alat pengumpulan informasi dengan cara menyampaikan sejumlah pertanyaan tertulis untuk dijawab secara tertulis pula oleh resoponden. Kuesioner seperta halnya interview dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang diri responden atau informasi tetntang orang lain.
Observasi
Observasi diartikan sebagai pengalaman dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian. Observasi terdiri dari observasi terstruktur dan observbasi tidak terstruktur. Dalam penelitian ini observasi yang digunakan adalah observasi terstruktur. Adapun pengertian dari observasi terstruktur adalah observasi yang telah dirancang secara sistematis tentang apa yang akan diamati, kapan dan diman tempatnya. Jadi observasi terstruktur dilakukan apabila peneliti telah athu dengan pasti tentang variabel apa yang akan diamati.
Dokumentasi
Dokumentasi adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis seperti arsip-arsip termasuk buku-buku, tentang pendapat, teori, dalil-dali, hukum-hukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.
Teknik Analisis Data
Analisis data dsalam penelitian ini adalah statistik. Statistik yang digunakan adalah statistik Yule'sQ. dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Menyiapkan tabel kerja 2x2 sebanyak rumusan masalah.
a. RM (1) X1-Y

Memilih Bahan pengajaran (X1) Intelegensi (Y)
Baik
X1 Buruk
Not X1 Tinggi
Y Rendah
Not Y
1
2
3
-27
Jml

b. RM (2) X2-Y

Memilih Metode Pengajaran (X2) Intelegensi (Y)
Baik
X2 Buruk
Not X2 Tinggi
Y Rendah
Not Y
1
2
3
-27
Jml

c. RM (3) X3-Y

Memilih Evaluasi pengajaran (X3) Intelegensi (Y)
Baik
X3 Buruk
Not X3 Tinggi
Y Rendah
Not Y
1
2
3
-27
Jml

Memasukkan data tabel kerja 2x2 kedalam tabulasi yule'sQ sebanyak rumusan masalah

Intelegensi Anak (Y)
Tinggi Rendah
Baik (X1) A B
Buruk (Not X1) C D
Jumlah

Intelegensi Anak (Y)
Tinggi Rendah
Baik (X2) A B
Buruk (Not X2) C D
Jumlah


Intelegensi Anak (Y)
Tinggi Rendah
Baik (X3) A B
Buruk (Not X3) C D
Jumlah

Memasukkan data tabulasi Yule'sQ kedalam rumus Yule'sQ

Mamaknai data dengan nilai konfensi Q

Nilai Q Arti Penafsiran
+0,70 – ke atas

+0,50 – +0,69

+0,30 – +0,49

+0,10 – +0,29

+0,01 – +0,09

0,0
-0,01 – -0,09

-0,10 – -0,29

-0,30 – -0,49

-0,50 – -0,69

-0,70 – ke bawah Hubungan positif yang sangat kuat
A very strong positive association
Hubungan positif yang sangat mantap
A substantial positive association
Hubungan positif yang sedang
A moderate positive association
Hubungan positif yang rendah
A low positive association
Hubungan positif yang tak berarti
A negligible positive association
Tidak ada hubungan positif (No association)
Hubungan negatif yang tak berarti
A negligible negative association
Hubungan negatif yang rendah
A low negative association
Hubungan positif yang sedang
A moderate negative association
Hubungan negatif yang sangat mantap
A substantial negative association
Hubungan negatif yang sangat kuat
A very strong negative association

SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Agar lebih mudah memahami pembahasan skripsi maka penulis membagi menjadi lima Bab dan masing-masing Bab di bagi lagi menjadi sub-sub bab. Adapun sistematika pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab satu merupakan pola dasar atau tempat berpijak dari keseluruhan isi skripsi ini yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.
Bab dua membahas tentang Kompetensi Profesionalisme Guru dan intelagensi siswa meliputi pengertian, syarat sebagai profesi, kemampuan profesional, pengertian intelegensi, faktor-faktor yang mempengaruhi inetelgensi.
Bab tiga membahas tentang penyajian data tentang gambaran umum lokasi penelitian dan upaya dalam peningkatan kompetensi profesionalisme guiru dan intelegensi siswa.
Bab empat berisi tentang analisa pengaruh kompetensi profesionalisme guru terhadap intelegensi siswa yang meliputi analisa dari segi kometensi profesionaisme guru, analisa dari segi intelegensi siswa, analisa dari segi pengaruh kompetensi profesionalisme guru terhadap intelegensi.
Bab lima berupa penutup yang beisi kesimpulan dan saran-saran serta kata penutup.

DAFTAR ISI SEMENTARA
Bagian Awal
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
HALAMAN PENGESAHAN
MOTTO
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
PEDOMAN TRANLITERASI
Bagian Inti
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Sistematika Pembahasan
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
Deskripsi Data dan atau Telaah Pustaka
1. Kompetensi Profesionalisme Guru
2. Intelegensi Anak
Kerangka Berfikir
Pengajuan Hipotesis
BAB III : METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Populasi dan Sampel
Instumen Pengumpulan Data
Teknik PEngumpulan Data
Teknik Analisis Data
BAB IV : TEMUAN DAN HASIL PENELITIAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Sejarah Berdirinya Mts.Al-Hikam Geger Madiun
2. Letak Geografis Mts.Al-Hikam Geger Madiun
3. Susunan Pengurus Mts.Al-Hikam Geger Madiun
4. Keadaan Siswa dan Guru Mts.Al-Hikam Geger Madiun
5. Sarana dan Prasarana Mts.Al-Hikam Geger Madiun
Deskripsi Data tentang pengaruh kompetensi profesionalisme guru terhadap intelegensi siswa kelas VIII di Mts.Al-Hikam Geger MAdiun.
Pengaruh ketrampilan guru dalam memilih bahan pengajaran terhadap intelegensi siswa kelas VIII Mts.Al-Hikam Geger Madiun tahun pelajaran 2008-2009?
Pengaruh ketrampilan guru dalam memilih metode pengajaran terhadap intelegensi siswa kelas VIII Mts.Al-Hikam Geger Madiun tahun pelajaran 2008-2009?
Pengaruh ketrampilan guru dalam memilih evaluasi pengajaran terhadap intelegensi siswa kelas VIII Mts.Al-Hikam Geger Madiun tahun pelajaran 2008-2009?
Analisis Data
6. Analisa data tentang peningkatan kompetensio profesionalisme guru Mts.Al-Hikam Geger Madiun
7. Analisa data tentang intelegensi siswa Mts.Al-hikam Geger Madiun
8. Analisa data tentang pengaruh kompetensi profesionalisme guru terhadap intelegensi siswa Mts.Al-Hikam Geger Madiun
Pembahasan dan Interpretasi
BAB V : PENUTUP
Kesimpulan
Saran
Bagian Akhir
DAFTAR RUJUKAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN















DAFTAR RUJUKAN SEMENTARA
Djamarah, Syaiful Bahri. Psikologi Belajar , Jakarta : PT.Rineka Cipta, 2002.
http://www.serambinews.com/old/indexphp?aksi=bacapsiko&konsulid=19
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/25/kesulitan-dan-bimbingan-belajar/
http:// www.putra Indonesiamalang.or.id/penelitian-tindakan-kelas/
http://www.p4tkipa.org/lihat.php?id=Artikel&hari=KEPENDIDIKAN&%20tanggal=7&20bulan=mei%20&20oleh=Drs.%20Darliana,%20M.Si
Bafadal, Ibrahim. Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar : Dalam Kerangka Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah , Jakarta : PT.Bumi Aksara, 2003.
Hamalik, Oemar. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, Jakarta: PT.Bumi Aksara, 2002.
Suparlan. Guru Sebagai Profesi, Yogyakarta: HIKAYAT Publishing, 2006.
Basuki&Ulum, Miftahul. Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, Ponorogo:STAIN Po Press, 2007.
Suharman. Psikologi Kognitif , Surabaya: Srikandi, 2005.
Dalyono. Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1997.
Nurkancara, Wayan&Sunarta. Evaluasi Pendidikan , Surabaya: Usaha Nasional, 1986.
Purwanto, Ngalim. Psikologi Pendidikan, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1996.
Hadi Amirul, Hadi. Metodologi Penelitian Pendidikan, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2005.
Margono, Metodologi Pendidikan, Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2003.
Magsun. PengantarStatistik Pendidikan, Jember: UNEJ Press, 1992.
PROPOSAL PENELITIAN
KUANTITATIF

Diajukan untuk mendapatkan persetujuan skripsi pada
jurusan Tarbiyah Program Study pendidikan Agama Islam
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Ponorogo























Disusun oleh:
Lathiifatul Muthooharoh
243062064
TARBIYAH/PAI/TB-C


Jurusan Tarbiyah
Program Study Pendidikan Agama Islam

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2008