Senin, 29 Juni 2009

Pendidikan Islam di Indonesia tidak pernah lepas dari semangat penyebaran Islam yang dilakukan secara intensif oleh para pendahulu dalam kerangka perpaduan antara konteks keindonesiaan dengan keislaman. Tak heran, jika pada awalnya pendidikan Islam tampak sangat tradisional dalam bentuk halaqah-halaqah. Namun seiring dengan kemajuan zaman, modernisasi pendidikan Islam mulai tampak dengan diambilnya bentuk madrasah [1] sebagai salah satu pendidikan Islam, selain pesantren. Semuanya ini dilakukan untuk memenuhi target atau tujuan pendidikan Islam yang berorientasi individual dan kemasyarakatan.
Secara umum, ada dua pandangan teoretis mengenai tujuan pendidikan Islam. [2] Pandangan teoretis yang pertama berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan masyarakat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis. Pendidikan bertujuan mempersiapkan manusia yang bisa berperan dan menyesuaikan diri dalam masyarakatnya masing-masing. Berdasarkan hal ini, tujuan dan terget pendidikan dengan sendirinya diambil dari dan diupayakan untuk memperkuat kepercayaan, sikap ilmu pengetahuan, dan sejumlah keahlian yang sudah diterima dan sangat berguna bagi masyarakat. Konsekuensinya, karena kepercayaan, sikap, ilmu pengetahuan, dan keahlian yang bermanfaat dan diterima oleh sebuah masyarakat itu senantiasa berubah, mereka berpendapat bahwa pendidikan dalam masyarakat tersebut harus bisa mempersiapkan peserta didiknya untuk menghadapi segala bentuk perubahan yang ada. [3]
Pandangan teoretis yang kedua lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan minat belajar. Pandangan ini terdiri dari dua aliran. Aliran pertama, berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik agar bisa meraih kebahagiaan yang optimal melalui pencapaian kesuksesan kehidupan bermasyarakat dan ekonomi, jauh lebih berhasil dari yang pernah dicapai oleh orang tua mereka. Dengan demikian, pendidikan adalah jenjang mobilitas sosial ekonomi suatu masyarakat tertentu. Aliran kedua lebih menekankan peningkatan intelektual, kekayaan, dan keseimbangan jiwa peserta didik. [4]
Catatan
[1] Madrasah pertama kali didirikan oleh Nizhamul Mulk Dinasti Bani Saljuk pada abad ke-15 Hijriyah, meskipun pada abad sebelumnya ada yang mengatakan Naisabur sebagai madrasah yang pertama di dunia Islam. Lihat Muhammad Munir Misri, al-Tarbiyyah al-Islamiyyah Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-'Arabiyyah, (Kairo: 'Alam al-kutub, 1977), hlm. 98.
[2] Tujuan pendidikan Islam harus disandarkan pada ukuran-ukuran yang jelas; (1) filsafat pendidikan Islam agar mampu menghadapi problem-problem sosial, (2) bersifat realistis, terukur, dan memadai sehingga dapat diimplementasikan dengan mudah, (3) sesuai dengan standar umum yang berlaku, bukan berdasarkan sesuatu yang tidak lazim sehingga sulit mengimplementasikan dalam proses pendidikan, (4) bersifat komprehensif, mencakup semua aspek yang dibutuhkan dalam pendidikan, dan (5) melibatkan segenap ahli yang mampu mendukung dalam proses pendidikan. Lihat Ibrahim Basyuni Amirah, Tadris al-'Ulum wa al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, (ttp: Dar al-Ma'arif, 1978), hlm. 108-111.
[3] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 163-165. Bandingkan dengan pemikiran Muhammad Athiyyah al-Ibrasyi, yang menegaskan tujuan pendidikan Islam lebih diorientasikan pada pengembangan pemikiran Islam, kebebasan berfikir, perluasan wilayah kajian, pengembangan ilmu dari berbagai aspek, dan nuansa falsafinya. Lihat Muhammad Athiyyah al-Ibrasyi, al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, (ttp: al-Dar al-Qaumiyyah li al-Tiba'ah wa alNasyr, 1964), hlm. 147.

[4] Ibid
http://www.ditpertais.net/jurnal/vol62003c.asp




Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah batas akhir yang dicita-citakan seseorang dan dijadikan pusat perhatiannya untuk dicapai melalui usaha. Dalam usaha terkandung cita-cita, kehendak, kesengajaan serta berkonsekwensi penyusunan daya upaya untuk mencapainya.
Tujuan pendidikan merupakan masalah sentral dalam proses pendidikan. Hal ini disebabkan oleh fuingsi-fungsi yang dipikulnya.
Pertama, tujuan pendidikan mengarahkan perbuatan mendidik. Fungsi ini menunjukkan pentingnya perumusan dan pembatasan tujuan pendidikan secara jelas. Tanpa tujuan yang jelas, proses pendidikan akan berjalan tidak efektif dan tidak efisien, bahkan tidak menentu dan salah dalam menggunakan metode, sehingga tidak mencapai manfaat. Tujuanlah yang menentukan metode apa yang seharusnya digunakan untuk mencapainya.
Kedua, tujuan pendidikan mengakhiri usaha pendidikan. Apabila tujuannya telah tercapai, maka berakhir pula usaha tersebut. Usaha yang terhenti sebelum tujuan tercapai, sesungguhnya belum dapat disebut berakhir, tetapi hanya mengalami kegagalan yang antara lain disebabkan oleh tidak jelasnya rumusan tujuan pendidikan.
Ketiga, tujuan pendidikan di satu sisi membatasi lingkup suatu usaha pendidikan, tetapi di sini lain mempengaruhi dinamikanya. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan usaha berproses yang di dalamnya usaha-usaha pokok dan usaha-usaha parsial saling terkait.
Keempat, tujuan pendidikan memberikan semangat dan dorongan untuk melaksanakan pendidikan. Hal ini juga berlaku pada setiap perbuatan.[14]
Ahmad D. Marimba, menyebutkan empat fungsi tujuan pendidikan. Pertama, tujuan berfungsi mengakhiri usaha. Suatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidaklah mempunyai arti apa-apa. Selain itu, usaha mengalami permulaan dan mengalami pula akhirnya. Ada usaha yang terhenti karena kegagalan sebelum mencapai tujuan, tetapi tujuani itu belum dapat disebut berakhir. Pada umumnya, suatu usaha baru berakhir kalau tujuan akhir telah dicapai. Kedua, tujuan berfungsi mengarahkan usaha, tanpa adanya antisipasi (pandangan ke depan) kepada tujuan, penyelewengan akan banyak terjadi dan kegiatan yang dilakukan tidak akan berjalan secara efisien. Ketiga, tujuan dapat berfungsi sebagai titik pangkal untuk mencapai tujuan lain, yaitu tujuan-tujuan baru maupun tujuan-tujuan lanjutan dari tujuan pertama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dari satu segi tujuan itu membatasi ruang gerak usaha itu. Keempat, fungsi dari tujuan pendidikan ialah memberi nilai (sifat) pada usaha itu. Ada usaha-usaha yang tujuannya lebih luhur, lebih mulia, lebih luas dari usaha-usaha lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam rumusan setiap tujuan selalu disertai dengan nilai-nilai yang hendak diusahakan perwujudannya.[15] Nilai-nilai itu tentu saja bermacam-macam, sesuai dengan pandangan yang meruimuskannya.
Jika yang merumuskan tujuan tersebut orang muslim yang taat dan luas wawasan keislamannya, tentu saja ia akan memasukkan nilai-nilai yang sejalan dengan ajaran Islam yang dianutnya. Dengan demikian, suatu rumusan tujuan pendidikan harus memiliki muatan subjektifitas dari yang merumuskannya, walaupun subjektifitas ini tidak selamanya berkonotasi negative.
Dalam hubungan fungsi ke empat dari tujuan pendidikan tersebut diatas, Hasan Langgulung menulis tentang tujuan pendidikan Islam. Menurutnya tujuan-tujuan pendidikan agama harus mampu mengkomodasikan tiga fungsi dari agama, yaitu fungsi spiritual yang berkaitan dengan aqidah dan iman, fungsi psikologis yang berkaitan dengan tingkah laku individual termasuk nilai-nilai akhlak yang mengangkat derajat manusia ke derajat yang lebih sempurna, dan fungsi sosial yang berkaitan dengan aturan-aturan yang menghubungkan manusia dengan manusia lain atau masyarakat, di mana masing-masing menyadari hak-hak dan tanggungjawabnya untuk menyusun masyarakat yang harmonis dan seimbang.[16] Uraian ini pada intinya menegaskan bahwa suatu rumusan pendidikan Islam, tidaklah bebas dibuat kesehendak yang menyusunnya, melainkan berpijak pada nilai-nilai yang digali dari ajaran Islam itu sendiri. Dengan cara demikianlah, maka tujuan tersebut dapat memberi nilai terhadap kegaitan pendidikan.
Mohammad Al-Taumy Al-Syaibani, mengatakan bahwa hubungan antara tujuan dan nilai-nilai amat berkaitan erat, karena tujuan pendidikan merupakan masalah nilai itu sendiri. Pendidikan mengandung pilihan bagi arah kemana perkembangan murid-murid akan diarahkan. Dan pengarahan ini sudah tentu berkaitan erat dengan nilai-nilai. Pilihan terhadap suatu tujuan mengandung unsur mengutamakan terhadap beberapa nilai atas yang lainnya. Nilai-nilai yang dipilih sebagai pengaruh dalam merumuskan tujuan pendidikan tersebut pada akhirnya akan menentukan corak masyarakat yang akan dibina melalui pendidikan itu.[17]
Dari uraian singkat tentang fungsi tujuan pendidikan tersebut di atas, penulis akan memaparkan rumuisan tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan.
Ahmad Tafsir, mencoba menjelaskan tujuan pendidikan Islam dengan merujuk kepada berbagai pendapat para pakar pendidikan Islam. Dari berbagai pendapat tersebut, ia membagi tujuan pendidikan Islam kepada yang bersifat umum dan yang bersifat khusus. Menurutnya untuk merumuskan tujuan pendidikan Islam secara umum harus diketahui lebih dahulu cirri manusia sempurna menurut Islam, yaitu dengan mengetahui lebih dahulu hakikat manusia menurut Islam.[18]
Konsepsi manusia yang sempurna menurut Islam, sangat membantu dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam. Menurut konsep Islam, manusia adalah makhluk yang memiliki unsur jasmani dan rohani, fisik dan jiwa yang memungkinkan ia dapat diberikan pendidikan. Selanjutnya manusia ditugaskan untuk menjadi khalifah di muka bumi sebagai pengamalan ibadah kepada Tuhan, dalam arti yangs seluas-luasnya. Konsekwensi ini pada akhirnya akan membantu merumuskan tujuan pendidikan, karena tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah gambaran ideal dari manusia yang ingin melalui pendidikan.
Menurut Ahmad D. Marimba, Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian utama.[19] Dalam definisi ini terlihat jelas bahwa secara umum yang dituju oleh kegiatan pendidikan adalah terbentuknya kepribadian utama. Definisi ini tampak sejalan dengan prinsip di atas yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah gambaran manusia yang kekal
Hasan Langgulung, berbicara tentang tujuan pendidikan tidak dapat tidak mengajak kita berbicara tentang tujuan hidup. Sebab pendidikan bertujuan untuk memelihara kehidupan manusia. Tujuan ini menurutnya tercermin dalam surat al-An’am ayat 162 yang berbunyi
“Katakanlah : Sesungguhnya shalatku, ibadahku hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al-An-‘am : 162)[20]
Menurut Mohammad Athiyah. Pendidikan moral adalah jiwa dari pendidikan Islam, dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan moral dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan yang sebenarnya dari pendidikan Islam.[21]Pada definisi ini nampak bahwa gambaran manusia yang idela yang harus dicapai melalui kegiatan pendidikan adalah manusia yang bermoral. Hal ini nampak sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad SAW, yaitu untuk menyempurnakan moral yang mulia.
“Sesungguhnya saya diutus hanya untuk menyempurnakan moral yang mulia”.[22]
Ali Ashraf mengatakan bahwa pendidikan seharusnya bertujuan menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia melalui latihan spiritual, intelek, nasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh manusia. Karena itu pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspek spiritual, intelektual, imaginative, fiscal, ilmiah, linguistic, baik secara individual maupun secara kolektif dan memotivasi semua aspek untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan Islam adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah, pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya.[23]
Sejalan dengan upaya pembinaan seluruh potensi manusia sebagaimana disebutkan di atas, menarik sekali pendapat yang dikemukakan Muhammad Quthub. Menurutnya,
Islam melakukan pendidikan dengan melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap manusia, sehingga tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikitpun, baik segi jasmani maupun segi rohani, baik kehidupan secara mental, dan segala kegiatannya di muka bumi ini. Islam memandang anusia secara totalitas, mendekatnya atas dasar apa yang terdapat dalam dirinya, atas dasar fitrah yang diberikan Allah kepadanya, tidak sedikitpun yang diabaikan dan tidak memaksakan apa pun selain apa yang dijadikannya sesuai dengan fitrahnya.[24]
Pendapat ini memberikan petunjuk dengan jelas bahwa dalam rangka mencapai pendidikan, Islam mengupayakan pembinaan seluruh potensi manusia secara serasi dan seimbang.
Mohammad al-Toumy al-Syaibany, menjabarkan tujuan pendidikan Islam menjadi :
1. Tujuan-tujuan individual yang berkaitan dengan individu-individu, pelajaran (learning) dan dengan pribadi-pribadi mereka, dan apa yang berkaitan dengan individu-individu tersebut. Pada perubahan yang diinginkan pada tingkah laku, aktifitas dan pencapaiannya, dan pada pertumbuhan yang diingini pada pribadi mereka, dan pada persiapan yang dimestikan kepada mereka pada kehidupan dunia dan akhirat.
2. Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat umumnya, dan dengan apa yang berkaitan dengan kehidupan ini tentang perubahan yang diingini, dan pertumbuhan, memperkaya pengalaman dan kemajuan yang diigninkan.
3. Tujuan-tujuan professional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai suatu aktifitas di antara aktifitas-aktifitas masyarakat.[25]
Proses pendidikan Islam berusaha mencapai ketiga tujuan itu, yaitu tujuan individual, tujuan sosial dan tujuan professional. Ketiga tujuan ini secara terpadu dan terarah diuisahakan agar tercapai dalam proses pendidikan Islam. Dengan tujuan ini pula, jelas ke mana pendidikan Islam diarahkan.
Dari pengertian-pengertian tujuan pendidikan Islam yang dikemukakan oleh para pakar pendidikan tersebut di atas, dapatlah penulis mengambil kesimpulan sesuai dengan ruang lingkup pembahasan skripsi ini, bahwa pendidikan Islam berupaya menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas tidak hanya pada aspek kognitif tetapi juga pada aspek afektif dan psiko-motorik. Transformasi nilai-nilai moral menjadi prioritas utama pendidikan selain transfer ilmu pengetahuan. Sehingga terbentuk seorang siswa yang intelek dan bermoral tinggi.

http://ridwan202.wordpress.com/2008/04/16/pendidikan-islam-dan-moralitas/








BENTUK-BENTUK TES HASIL BELAJAR DAN TEKNIK PENYUSUNANNYA
1. Tes Hasil Belajar Bentuk Uraian
a. Pengertian Tes Uraian
Tes uraian (essay test), sering dikenal dengan istilah tes subyektif, adalah salah satu jenis tes hasil belajar yang memiliki karakteristik sebagaimana dikemukakan berikut ini:
1. Tes berbentuk pertanyaan atau perintah yang menghendaki jawaban berupa uraian.
2. Bentuk-bentuk pertanyaan menuntut kepada testee untuk memberikan penjelasan, komentar, penafsiran, membandingkan, membedakan, dan sebaginya.
3. Jumlah butir soalnya umumnya terbatas.
4. Umumnya soal tes uraian diawali dengan kata-kata: “Jelaskan…”, “Terangkan…”, dan lain-lain.
b. Penggolongan Tes Uraian
Tes uraian dibedakan menjadi dua golongan, yaitu: tes uraian bentuk bebas atau terbuka, yakni jawaban yang dikehendaki muncul dari testee sepenuhnya. Artinya testee mempunyai kebebasan seluas-luasnya dalam merumuskan, mengorganisasikan dan menyajikan jawabannya dalam bentuk uraian. Adapun, tes uraian bentuk terbatas, artinya jawaban yang dikehendaki muncul dari testee adalah jawaban yang sifatnya sudah lebih terarah.
c. Segi-segi Kebaikan dan Kelemahan Tes Uraian
Keunggulan – keunggulan :
1. Tes uraian merupakan jenis tes yang pembuatannya dapat dilakukan dengan mudah dan cepat.
2. Dapat dicegah memungkikan timbulnya permaianan spekulasi dikalangan testee.
3. Penyusunan soal akan dapat mengetahui seberapa jauh tingkat kedalaman dan tingkat penguasaan testee dalam memahami materi.
4. Testee akan terdorong dan terbiasa untuk berani mengemukakan pendapat dengan menggunakan gaya bahasa hasil olahan sendiri.
Kelemahan :
1. Kurang dapat menampung atau mencakup dan mewakili isi dan luasnya materi yang telah diberikan kepada testee.
2. Cara mengoreksi jawaban cukup sulit.
3. Dalam pemberian skor hasil tes uraian, tedapat kecenderungan testee bersifat subjektif.
4. Pekerjaaan koreksi terhadap lembar jawaban sulit diserahkan kepada orang lain.
5. Daya ketepatan mengukur (validitas) dan daya keajegan mengukur (reliabilitas) yang dimiliki tes uraian umumnya rendah sehingga kurang dapat diandalkan.
http://dbitchestcomplete.blog.friendster.com/2008/06/tugas-epd-pentingg/



Tes Uraian atau Subjective Test (Essay Test)

Tes uraian ialah tes yang disajikan dalam bentuk uraian, yang mengharapkan jawaban dalam bentuk uraian pula. Biasanya untuk mengukur kemampuan anak dalam menjabarkan, memadukan, dan menilai aspek kognitif di samping kemampuan lainnya.
1. Kelebihan Tes Uraian
· Mudah disiapkan dan disusun
· Siswa tidak mudah berspekulasi
· Mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat serta menyusunnya dalam kalimat yang baik
· Untuk mengetahui sejauh mana siswa memahami dan menguasai materi
· Ekonomis, sebab dapat menggunakan kertas yang sedikit
2. Kelemahan Tes Uraian
· Kadar validitas dan reliabilitas rendah
· Scope yang dinilai sempit
· Pemeriksaan yang sulit dan subjektif
· Hanya dapat diperiksa oleh guru yang bersangkutan
3. Petunjuk Penyusunan Tes Uraian
· Hendaknya tes meliputi ide-ide pokok bahan yang akan dites-kan
· Soal tidak sama persis dengan contoh yang ada pada catatan
· Pada waktu menyusun soal, hendaknya juga dibuatkan kunci jawaban
· Pertanyaan menggunakan kata tanya yang bervariasi
· Hendaknya rumus yang digunakan dalam menjawab soal jelas dan mudah dipahami
· Hendaknya ditegaskan model jawaban yang dikehendaki oleh pembuat, untuk itu harus spesifik dan tidak terlalu umum
4. Cara Melakukan Pen-skor-an Tes Uraian
· Perhatikan petunjuk penyusunan soal, untuk menentukan skor jawaban sebaiknya digunakan kriteria yang akan digunakan
· Setiap jawaban soal hendaknya diklasifikasi dalam 4 atau 5 tingkatan, dengan skor 0, 1, 2, 3, 4 atau dengan huruf A, B, C, D dan E.
· Tiap nomor soal seharusnya ditentukan bobot masing-masing
· Skor mentah yang diperoleh ditransfer ke nilai 1 – 10 atau 1 – 100
· Contoh : Apakah yang dimaksud dengan titik fokus pada elips?
http://math04-uinmks.blogspot.com/2008/02/tes-uraian-dan-cara-pembuatannya.html

2. Tes esai Tes esai adalah suatu bentuk tes yang terdiri dari pertanyaan atau suruhan yang menghendaki jawaban yang berupa uraian-uraian yang relatif panjang Nurkancana dan Sumartana (1986: 42). Tes dirancang untuk mengukur hasil belajar di mana unsur-unsur yang diperlukan untuk menjawab soal dicari, diciptakan dan disusun sendiri oleh pengambil tes. Peserta tes harus menyusun sendiri kata-kata dan kalimat-kalimat dalam merumuskan jawabannya. Butir soal mengandung pertanyaan atau tugas yang jawaban atau pengerjaan soal tersebut harus dilakukan dengan cara mengekspresikan pikiran peserta tes (Zainul dan Nasoetion, 1996 : 33), constructed-response tests are those that call for the examinee to produce something (Popham, 1981 : 266).
Bentuk-bentuk pertanyaan atau suruhan meminta pada murid-murid untuk menjelaskan, membandingkan, menginterpretasikan dan mencari perbedaan. Semua bentuk pertanyaan tersebut mengharapkan agar murid-murid menunjukkan pengertian mereka terhadap materi yang dipelajari. Tes esai digunakan untuk mengatasi kelemahan daya ukur soal objektif yang terbatas pada hasil belajar rendah. Soal tes bentuk ini cocok untuk mengukur hasil belajar yang level kognisinya lebih dari sekedar memanggil informasi, karena hasil belajar yang diukur bersifat kompleks (Subino, 1987 : 1) dan sangat mementingkan kemampuan menghasilkan, memadukan dan menyatakan gagasan (Grounlund, 1981 : 71). Grounlund (1985 : 211) mengatakan,
Some aspects of complex achievement are difficult to measure objectively. Learning outcomes that indicate pupils are to originate ideas, to organize and express ideas, and to integrate ideas in a global attack on a problem, require the greater freedom of response provided by essay test.
Soal uraian (essay) berbeda dengan soal objektif dalam kebenarannya yang bertingkat. Jawaban tidak dinilai mulai dari 100% benar dan 100% salah. Kebenaran bertingkat tergantung tingkat kesesuaian jawaban siswa dengan jawaban yang dikehendaki yang dituangkan dalam kunci. Jawaban mungkin mengarah kepada jawaban yang tidak tunggal (divergence). Kebenaran yang dicapai bisa 0%, 20%, 30%, 50%, 70%, atau 100% tergantung ketepatan jawabannya.
Di banding dengan tes objektif, soal esai mempunyai beberapa keunggulan. Pertama, kekuatan soal untuk mengukur hasil belajar yang kompleks dan melibatkan level kognitif yang tinggi. Kedua, memberi kesempatan pada anak untuk menyusun jawaban sesuai dengan jalan pikirannya sendiri. Kecakapan ini sangat penting dalam kehidupan masyarakat karena individu dalam masyarakat tidak hanya mengadakan pilihan terhadap alternatif-alternatif tapi harus menggunakan alternatif lain yang lebih berguna (Nurkancana dan Sumartana, 1986 : 42).
Meski soal esai sangat berguna, namun memiliki beberapa kelemahan. Pertama, terdapat subjektivitas dalam penilaiannya karena penilai yang berbeda atau situasi yang berbeda. Dua atau lebih penilai memberikan penilaian terhadap jawaban yang sama atau seorang penilai menilai sebuah jawaban pada situasi yang berbeda sangat mungkin menghasilkan nilai yang berbeda. Kedua, tes esai menghendaki jawaban yang panjang, sehingga tidak memungkinkan ditulis butir tes dalam jumlah banyak. Akibatnya, soal tidak representatif dalam mengukur kemampuan yang diharapkan. Ketiga, penggunaan soal esai membutuhkan waktu koreksi yang lama dalam menentukan nilai.
Mengenai tes esai, berdasarkan berbagai pendapat dapat disimpulkan sebagai tes yang semua unsur yang diperlukan oleh peserta tes untuk menjawabnya harus diciptakan, dicari dan disusun sendiri. Jawaban yang berupa uraian menyebabkan tingkat kebenarannya berderajad, sesuai dengan tingkat kesesuaian jawaban dengan kunci jawabannya.
Sehubungan dengan penggunaan bentuk tes objektif dan esai, tes objektif memberikan hasil belajar yang lebih baik dibandingkan dengan tes esai. Hal demikian bisa terjadi karena tes objektif umumnya hanya mampu mengukur level kognisi yang paling rendah, yaitu ingatan. Tingkat ingatan (C1) dalam taksonomi Bloom memerlukan kemampuan yang paling rendah dalam perolehan hasil belajar. Taksonomi disusun dari level kognisi yang paling sederhana, yaitu ingatan (C1) hingga yang paling kompleks yaitu evaluasi (C6). The major categories in the cognitive domain are knowledge, comprehension, application, analysis, synthesis and evaluation. These categories begin with the relatively simple knowledge outcomes and proceed through increasingly complex levels of intellectual ability (Grounlund, 1985 : 32).
http://suyono.com/2008/02/bentuk-tes-dan-tingkah-laku-belajar/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar